Shubuh 3 Rakaat
****
Fatimah sebagai seorang ibu, sangat memerhatikan budi pekerti Alfin. Segala gerak-gerik dan tingkah laku anak semata wayangnya sanagat ia perhatikan. Baginya, adab dan akhlak adalah nomor satu. Fatimah berusaha mewarisakan kembali pendidikan keluarga yang ia dapat dari ayah dan ibunya dulu. Ia mengajarkan untuk selalu membaca doa dalam seluruh kegiatan, mulai dari sebelum dan sesudah makan, masuk dan keluar WC hingga doa mendengar petir.
Bagi masyarakat desanya. Laki-laki dewasa yang bergelar sarjana dianggap sudah sangat luar biasa. Kebanyakan anak-anak desa di lingkungannya, hanya mampu berbaju putih biru saja, sedikit yang melanjutkan untuk berbaju putih abu-abu, apalagi kuliah. Selain faktor ekonomi, pendidikan bagi mereka, masih dianggap kurang penting, apalagi bagi perempuan. Hidup hanya untuk meneruskan usaha keluarga. Hanya sebatas itu.
“Sudahlah nak, Jangan bersekolah tinggi-tinggi, nanti kamu juga hanya meneruskan usaha ayahmu, ngumpulin karet atau menjadi buruh kelapa sawit” begitulah celoteh kebanyakan orang tua di masyarakatnya itu, jika ada dari anak-anaknya ingin bersekolah tinggi.
Ari memang bukan anak yang cerdas dan berprestasi di kelasnya, ia seperti anak-anak sebayanya, bahkan ia pernah tidak naik kelas di awal masa belajarnya. Dikarenakan ia tidak bisa membaca dan menulis sama sekali. Kedua orang tuanya tidak menyekolahkannya di taman kanak-kanak, karena ketiadaan biaya dan iuran bulanannya lebih mahal daripada sekolah dasar. Jadilah ia anak penurut pada orang tua dan tak pernah membangkang. Jiwa perjuangan yang telah ditanamkan oleh orang tuanya itulah yang membuat api semangatnya selalu berkobar dalam mengarungi lautan kehidupan selanjutnya.
Dengan tak sedikitpun merasa malu, ari menjajakan dagangannya kepada teman-temannya, setiap jam istirahat. Ia paham betul bahwa duit hasil kerja ayah ibunya, tidak cukup untuk membiayai iuran bulanan sekolahnya. Oleh karena itu, ia mencoba membantu meringankan beban kedua orang tuanya. Walaupun hasilnya tidak seberapa.
Pada shubuh buta hari jum’at, Alfin bergegas ke musala. Ini pertama kali dia salat shubuh berjama’ah. Sesampainya di musala, imam mengangkat kedua tangan, yakni takbiratul-ihram. Alfin masuk saf paling ujung sebelah kiri, kemudian ikut bertakbir dan khusyuk mendengarkan bacaan imam.
Selesai shalat, alfin langsung pulang. Di rumah, alfin menangis dengan wajah merah. Lalu dengan lugunya ia berkata dengan nada tinggi kepada ayahnya yang sedang sibuk merapikan baju-bajunya di depan lemari kayu.
“Ayah bohong. Katanya shubuh dua rakaat , tapi kenapa tiga?”
Anak laki-laki, umurnya 6 tahun, bertubuh gempal
dan berwajah polos. Alfin Khairin nama lengkapnya, ia anak pertama dan
satu-satunya. Terlahir oleh dua sejoli, Fatimah dan Ari. Ibunya pegawai negeri
sipil di kantor kelurahan. Ayahnya guru Bahasa Indonesia Sekolah Dasar di
kampungnya. Keluarga kecil ini tinggal di kampung, tak jauh dari pinggiran
kota.
Lingkungan rumah alfin tinggal, kental dengan
budaya Islam. Tahlilan, sholawatan dan pengajian di surau-surau kecil, sudah
sangat akrab dengannya. Alfin tumbuh sebagai anak periang dan mudah bergaul. Ia
dididik tuk senantiasa berbakti kepada orang tua.
Fatimah sebagai seorang ibu, sangat memerhatikan budi pekerti Alfin. Segala gerak-gerik dan tingkah laku anak semata wayangnya sanagat ia perhatikan. Baginya, adab dan akhlak adalah nomor satu. Fatimah berusaha mewarisakan kembali pendidikan keluarga yang ia dapat dari ayah dan ibunya dulu. Ia mengajarkan untuk selalu membaca doa dalam seluruh kegiatan, mulai dari sebelum dan sesudah makan, masuk dan keluar WC hingga doa mendengar petir.
******
Kira-kira setelah ashar, ayah Alfin selalu
pulang dengan wajah sumringah. Rindu bermain dengan alfin, tuk melepas
penat. Biasanaya ayahnya membawa buah-buahan yang dijual di pinggiran jalan,
tak jauh dari sekolahnya. "Walaupun sedikit, tapi yang penting membawa
oleh-oleh,” begitu gumamnya dalam hati. Malam hari setelah belajar iqro
dengan ibunya. Mereka sekeluarga makan malam bersama. Sambil berbincang-bincang
tentang aktivitas alfin seharian. Apa saja, yang penting ada yang dibicarakan.
Sehabis makan malam biasanya alfin langsung
tidur. karena kecapekan. Namun kadang-kadang ia belajar berhitung dan membaca
dengan ayahnya. Kedua orang tuanya sangat memimpikan anaknya itu menjadi anak
yang sholeh, taat pada orang tua, dan berguna bagi bangsa. Maka setiap di
penghujung sholat, mereka selalu berdoa. Berdoa dengan amat sangat khusyuk.
*****
Ayah dan ibu Alfin menikah di umur lumayan
muda. Ketika itu, umur ibunya 21 tahun masih semester 5. Ayahnya sudah lulus
sarjana pendidikan Bahasa Indonesia, berumur 24 Tahun. Dan sudah menjadi guru
honorer di SD. Oleh karena itu, ayahnya memberanikan diri melamar ibunya yang
belum selesai kuliah. Walaupun, penghasilan ayahnya pas-pasan waktu itu.
Tapi sudah cukup untuk mengepulkan asap dapur setiap hari.
Bagi masyarakat desanya. Laki-laki dewasa yang bergelar sarjana dianggap sudah sangat luar biasa. Kebanyakan anak-anak desa di lingkungannya, hanya mampu berbaju putih biru saja, sedikit yang melanjutkan untuk berbaju putih abu-abu, apalagi kuliah. Selain faktor ekonomi, pendidikan bagi mereka, masih dianggap kurang penting, apalagi bagi perempuan. Hidup hanya untuk meneruskan usaha keluarga. Hanya sebatas itu.
“Sudahlah nak, Jangan bersekolah tinggi-tinggi, nanti kamu juga hanya meneruskan usaha ayahmu, ngumpulin karet atau menjadi buruh kelapa sawit” begitulah celoteh kebanyakan orang tua di masyarakatnya itu, jika ada dari anak-anaknya ingin bersekolah tinggi.
******
Ari terlahir dari keluarga menengah ke bawah. Ayahnya sopir angkot, ibunya penjual sayuran di pasar. Ia adalah anak terakhir
dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya perempuan.
Kedua kakaknya telah dinikahkan di umur sangat muda, yakni
selepas lulus SMP. Namun bagi masayarakatnya, itu sesuatu yang lumrah “karena perempuan
tugasnya hanya di dapur" itulah anggapan umum mereka.
Para perempuan di desanya, mereka dinikahkan
dengan berbagai alasan. Pertama, karena keluarga tak mampu lagi menyekolahkan. Kedua,
dengan menikah meringankan tanggungan hidup keluarga. Ketiga, untuk mengajarkan
mereka supaya hidup mandiri sejak dini, kebanyakan itulah alasan-alasan
gadis-gadis desa untuk manut jika dinikahkan oleh kedua orang tua mereka.
Sebagai bukti tanggung jawab orang tua mereka untuk menghindarkan dari fitnah
pergaulan remaja. Dan sebagai bukti ketaatan anak kepada orang tua. Inilah
penyebab kurangnya murid di sekolah-sekolah menegah atas dan membludaknya para
remaja mendaftarkan diri menjadi buruh kelapa sawit ketika itu.
*****
Ari sudah dididik oleh ayah dan ibunya sejak kecil
untuk hidup mandiri. Mulai dari masih berseragam putih-merah. Ia sudah terbiasa
menjajakan jualan ibunya yakni; krepyek, es lilin dan terkadang tempe dan tahu
petis. Jarak antara rumah dan SD nya lumayan jauh, sekitar 6 KM. Supaya
dia tidak terlambat, ia harus mengayuh sepedanya mulai dari jam lima pagi atau kira-kira
setelah sholat shubuh. Dan sampai di sekolah, jam setengah tujuh pagi. Seperempat jam sebelum gerbang sekolah ditutup.
Ari memang bukan anak yang cerdas dan berprestasi di kelasnya, ia seperti anak-anak sebayanya, bahkan ia pernah tidak naik kelas di awal masa belajarnya. Dikarenakan ia tidak bisa membaca dan menulis sama sekali. Kedua orang tuanya tidak menyekolahkannya di taman kanak-kanak, karena ketiadaan biaya dan iuran bulanannya lebih mahal daripada sekolah dasar. Jadilah ia anak penurut pada orang tua dan tak pernah membangkang. Jiwa perjuangan yang telah ditanamkan oleh orang tuanya itulah yang membuat api semangatnya selalu berkobar dalam mengarungi lautan kehidupan selanjutnya.
Dengan tak sedikitpun merasa malu, ari menjajakan dagangannya kepada teman-temannya, setiap jam istirahat. Ia paham betul bahwa duit hasil kerja ayah ibunya, tidak cukup untuk membiayai iuran bulanan sekolahnya. Oleh karena itu, ia mencoba membantu meringankan beban kedua orang tuanya. Walaupun hasilnya tidak seberapa.
”Hasil kerja kita hanya sekedar untuk makan besok hari, jadi kamu harus bantu ayah dan ibu ya “ itulah kalimat
yang biasa dituturkan ayahnya kepadanya.
******
Dengan kerja kerasnya, yakni belajar sambil
berjualan selama bertahun-tahun. Ari berhasil menamatkan pendidikan sekolahnya
hingga jenjang tertinggi. Walaupun ia hanya lulus dengan nilai sederhana. Namun
ia telah berhasil membuktikan kepada masyarakat desanya, bahwa anak desa juga
bisa bersekolah sampai SMA. Ari semakin merasa bergairah untuk menembus batas,
keluar dari zona kemiskinan dan kebodohan yang melingkarinya dan keluarganya.
Dan bukan hanya sekedar itu, ia bermimpi suatu saat ia akan mengentaskan
kemiskinan masyarakatnya, melalui jalur pendidikan. Dimulai dari mengeluarkan
warganya dari cengkeraman buta huruf. Inilah alasan yang mendorongnya untuk
memilih berjodoh dengan Fakultas Pendidikan jurusan Bahasa Indonesia di
Universitas Negeri di kotanya.
******
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Alfin
mewarisi sifat-sifat dasar yang dimiliki ayahnya, ia anak yang selalu patuh
dengan segala perintah orang tuanya dan tak pernah membangkang sekalipun. Persis
seperti ayahnya sewaktu kecil. Pada suatu hari, ayahnya mengajarkannya
tata-cara gerakan sholat. Walaupun belum
diajarkan doa-doa untuk setiap gerakan. Ini bertujuan agar membiasakannya untuk
melaksanakan sholat seperti orang kebanyakan sejak dini. Kemudian, ayahnya juga
mengajarinya bilangan-bilangan sholat wajib lima waktu. Mulai dari Salat
shubuh dua rakaat, Dzuhur empat rakaat, Asar empat rakaat, Magrib tiga rakaat
dan terakhir isya empat rakaat.
Pada shubuh buta hari jum’at, Alfin bergegas ke musala. Ini pertama kali dia salat shubuh berjama’ah. Sesampainya di musala, imam mengangkat kedua tangan, yakni takbiratul-ihram. Alfin masuk saf paling ujung sebelah kiri, kemudian ikut bertakbir dan khusyuk mendengarkan bacaan imam.
Karena masih kecil, Alfin tidak begitu mengerti
tradisi di kampung dan tata cara sholat dengan benar. Setiap shubuh jum’at,
imam biasanya membaca surat al-sajadah. Pada saat membaca bagian ayat khorruu sujjadaa selesai. Imam lantas
sujud. Tanpa pikir-pikir alfin pun ikut sujud. Dia mengira ini adalah rakaat
pertama. Namun setelah imam berdiri meneruskan bacaan, hingga sampai pada ayat fa-a’ridh
‘anhum wan-tantadzhir, imam rukuk, sujud, duduk, sujud lagi, kemudian
berdiri lagi. Alfin mulai gelisah. Ia bergumam dalam hati “kata ayah shubuh
dua raka’at" tapi ini sudah dua belum juga selesai. Kemudian ia berteriak
dalam hati “Ayah Pembohong !”
Selesai shalat, alfin langsung pulang. Di rumah, alfin menangis dengan wajah merah. Lalu dengan lugunya ia berkata dengan nada tinggi kepada ayahnya yang sedang sibuk merapikan baju-bajunya di depan lemari kayu.
“Ayah bohong. Katanya shubuh dua rakaat , tapi kenapa tiga?”
******
Komentar
Posting Komentar