Puasa ritual dan Puasa Moral
Sebagian besar dari kita mungkin belum begitu
menyadari, bahwa puasa
ramadhan yang
kita jalani
selama sebulan setiap tahun itu, adalah proses yang sangat menakjubkan. Luar biasa
mengesankan. Bagaimana tidak, ujian fisik dan mental-emosional ini, harus dilakoni
melalui proses yang cukup panjang. Satu bulan penuh, secara berterusan.
Hanya saja, karena puasa wajib ini bersifat siklus, maka sebagian dari kita masih banyak yang menyikapi kewajiban agama ini dengan biasa-biasa saja. Bahkan, seolah-olah hanya seperti menjalankan tradisi tahunan.
Puasa itu sendiri adalah metode yang luar biasa untuk memproses diri menjadi ahsanu taqwim (
manusia seutuhnya). Tuhan sendiri yang menciptakan metode itu. Dan barangkali, Tuhan mewajibkan puasa karena menjamin bahwa puasa, adalah metode yang lebih baik dibanding
segala penemuan metodik manusia untuk merekayasa penyempurnaan kemanusiaan manusia.
Ujian yang terberat
ketika berpuasa biasanya terjadi, pada beberapa hari di minggu pertama.
Melepaskan diri dari tarikan kebiasaan seperti tidak makan dan minum di siang
hari membutuhkan energi yang besar. Ibarat pesawat terbang, ketika take off,
hendak melepaskan diri dari tarikan gravitasi bumi, dibutuhkan kekuatan dan
kecepatan yang luar biasa besar. Jika tidak, pesawat mungkin hanya terangkat
sedikit untuk kemudian kembali terhempas ke bumi.
Sebaliknya, jika ia didorong oleh kekuatan penuh, dan
berhasil terbang lepas dari kekuatan gravitasi, di angkasa, pesawat akan meluncur dengan mudah. Melayang
ringan laksana burung melintasi angkasa menuju tujuan. Kebiasaan berpuasa dalam
siklus tahunan, menjadikan umat Islam berada dalam posisi melayang, tidak lagi
bergelut dalam kondisi tarik-menarik antara pelepasan dan keterikatan.
Keberhasilan menempuh puasa ramadhan yang diselenggarakan Tuhan ini semestinya
menjadikan umat
Islam, lebih berkarakter.
Lebih bermental mumpuni. Takwa sebagaimana disebutkan Tuhan dalam surah
al-Baqarah/2 ayat 183 adalah 'kondisi menjadi' dengan sekian banyak variabel
kebaikannya. Di dalam takwa terkandung kesabaran, ketaatan, keikhlasan,
keberanian, kesungguhan, kecerdasan, sikap sosial yang tinggi, dan lain-lain. Barangkali, inilah karakter muslim yang diinginkan Tuhan.
Jika kita mencoba merenungkan makna kata “puasa”. Menurut
penulis, barangkali ada hubungkan
antara kata "puas" dengan
"puasa". Dan kesannya
di kuping agak terdengar sedap untuk disimak. Meski pada hakikatnya kedua kata itu tidak
berkorelasi derivatif secara maknawi. Puas,
berarti adanya rasa senang karena terpenuhinya hasrat. Sementara puasa, berarti menahan diri dengan sengaja
untuk tidak makan dan minum hingga waktu tertentu.
Tapi jika dipikirkan, mungkin ada
juga titik temunya. Di mana puasa berposisi sebagai proses, sementara
puas menempati posisi hasil. Orang yang berpuasa biasanya mendapatkan
kepuasan waktu berbuka tiba. Maka dari itu, istilah fithri dalam bahasa Arab
diambil dari kata kerja fathara-yafthuru yang berarti makan pagi. Dan Idul fithri dapat diartikan,
makan pagi kembali. Ini semacam kebebasan. Ujian
puasa selama sebulan telah selesai, dan kepuasan didapatkan saat makan
pagi dibolehkan kembali.
Barangkali, puasa sebagai ritual penuh makna mengajarkan umat Islam untuk
menndalami makna "tidak" di dalam hidup. Kita sebagai umat Islam dilatih untuk bukan sekedar berniat, tapi juga menerapkan
tirakat "tidak" pada setiap hal yang membatalkan proses. Bukan
sekedar tidak makan dan tidak minum. Lebih jauh lagi adalah,
tidak mengiyakan sikap dan perilaku yang menerobos moralitas.
Kita, dalam lingkup budaya yang serba permisif sekarang ini, banyak dimotivasi untuk menjalani hidup dalam tradisi "pelampiasan." Pola hidup konsumtivisme merubah kita menjadi makhluk omnivora, seperti binatang yang memakan segala, tanpa memperhatikan halal dan haram, etis ataupun tidak etis. Perut, acapkali kita jadikan kuburan. Bukan hanya kuburan bangkai binatang, tapi juga kuburan orang-orang. Kuburan atas hak sawah dan ladang orang, kuburan atas nasib malang orang. Kuburan atas cederanya hati orang. Semua yang menyusahkan orang, kita kubur dalam perut.
Perut sebagai wadah pelampiasan
acapkali menolak kata "tidak." Ia sering tidak terkendali.
Karena itu, di bulan Ramadhan kita dilatih untuk menutup pintu
pelampiasan, dan menjalani ritual pengendalian. Pagi-pagi sekali sebelum adzan
dikumandangkan, teriakan "imsak" dari corong-corong toa mesjid dan mushalla memperingatkan kita untuk
mengendalikan diri. Imsak dalam bahasa arab artinya menahan. Diambil dari kata
kerja amsaka-yumsiku.
Secara fiqh,
tentu yang ditahan adalah keinginan untuk makan dan minum. Ini namanya riadhah
fisik. Tapi secara moral, yang ditahan adalah segala hal yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip hidup manusia secara universal. Mencela, mengumpat,
mendera, menggosip, merampas, memalak, mengkorupsi, dan lain-lain.
Namun sayang, di bulan Ramadhan kebanyakan dari kita hanya sanggup menjalani ketentuan fiqh, tapi lupa akan ketentuan moral. Kita sanggup menahan diri untuk tidak makan dan minum. Tapi sikap berlebih-lebihan menjelang berbuka, menandakan bahwa kita masih terjebak dalam budaya pelampiasan. Semua yang menarik selera, kita beli. Akibatnya, anggaran di bulan Ramadhan lebih meningkat tinimbang di bulan-bulan lainnya. Padahal moralitas agama mengajarkan, bahwa seorang muslim semestinya dalam makan, minum, berpakaian, dan bahkan di dalam bersedekah tidak boleh berlebih-lebihan. Apalagi kalau disertai dengan sikap sombong. Tentu sangat dilarang.
Barangkali puasa ramadhan kita, hingga saat ini, belum betul-betul mendatangkan kepuasan yang sejati. Kendali batin masih tunduk di bawah nafsu untuk
melampiaskan. Akibatnya,
puasa sering menjadi stimulus untuk mereguk kenikmatan perut sedalam-dalamnya.
Puasa seharian
penuh, bahkan bisa menjadi
perangsang untuk kepuasan fisik setelah berbuka.
Padahal, riadhah fisik yang diwajibkan Tuhan kepada umat Islam adalah sebagai
media penghubung untuk memasuki dimensi spiritual. Agar lebih mendekatan diri kepada
Tuhan.
Komentar
Posting Komentar