30 Maret 9 Tahun Silam
Tak sampai hatiku menuliskan secercah pengalaman hidupku bersama
mereka berdua, entah angin macam apa yang menyelinap masuk ke dalam
relung hati kerdil ini, sepasang mutiara hati itu terlahir dari rahim seorang
ibu yang mengalir darah kasih sayang di dalam tubuhnya, kulitnya yang
dahulu lembut kini mulai terlihat keriput, rambutnya yang hitam lebat
mulai berpaut dengan warna putih, tak ada sepatah katapun menyakiti hati
kami (anak-anak semata wayangnya) tak ada bentakan apalagi tamparan
yang pernah kami lihat. Wajahnya selalu tampak penuh ceria dihiasi lesung
pipit yang hingga kini melekat di pipi tuanya.
Saya
dan mereka berdua adalah cahaya-cahaya harapan yang akan menyenyumkan
wajah cantik mama, menyegarkan kembali raut wajah abah. Dan
akhirnya sembilan tahun sudah berlalu, waktu seakan berlari begitu
cepatnya. Kejam, beringas dan sporadis. Tak tanggung-tanggung, tak pernah sang waktu menerima tawaran berhenti sejenak tuk
mengistirahatkan dirinya, dan aku pun sepakat dengan
pendiriannya. Pendirian yang tak lapuk diguyur hujan, tak kering kerontang
disengat panas.
Betapa angkuhnya diri ini terus menerus mengeluh, meminta keinginan-keinginan. Walaupun tujuan dan niat itu
hakikatnya untuk menjadikan diri lebih baik. Padahal nikmat begitu melimpah
ruah yang telah saya rasakan. Nikmat yang tiada gantinya, yang tak
terhitung banyaknya. Namun keangkuhan, kesombongan dan ketidakpuasan menutup mata hatiku agar
senantiasa besyukur kepada Sang Pemberi. Betapa tidak, saya masih
punya mata yang masih berfungsi dengan baik. Mari kita membayangkan, berapa juta orang buta yang ingin
melihat indahnya dunia saat ini?
Itu hanya nikmat penglihatan yang telah
saya sebutkan. Jika kita ingin menghitung-hitung, merinci-rincikan. Mungkin
lautan pun akan kering jika ingin kita jadikan tinta pena kita. Hatiku terenyuh melihat wajah mereka berdua, walaupun hanya dari
selembar foto. Wajah khas keturunan orang banjar yang mengejewantahkan karakter budaya dan tradisi luhurnya.
Air mataku yang sudah lama ku tahan dengan
kerasnya, akhirnya sedikit demi sedikit merembes keluar, lalu membasahi pipi
kasarku. Ku tak sanggup membayangkan itu semua. Tak ada kebahagiaan yang
lebih indah kecuali kebahagiaan Cinta. Cinta terhadap keluarga. Cinta
kepada sesama. Cinta yang menghidupkan api semangat. Cinta yang
membangkitkan kembali jiwa yang terpuruk, mengangkat kembali jiwa yang
pernah jatuh dari lubang kehinaan.
Mereka berdua yang
mungkin mengilhamiku tuk kembali ke jalan yang benar, saya yakin ada
segunung hikmah yang sedang tertutup hutan belantara cobaan ini. Saya tak berharap anda paham atau tidak maksud saya. Yang hanya ingin saya katakan, mari kita merenung kembali. Mari kita mencoba
berpikir sejenak. Sudahkah kita bersyukur, beryukur atas segenap
nikmat-nikmatNya. Sejak kita terlahir di dunia, hingga detik ini.
Manusiawi memang jika kita menginginkan hajat dan segenap cita-cita. Hak-hak kita terwujud. Namun dengan bersyukur dengan apa yang sedang kita miliki sekarang dan
menanamkan cinta kepada sesama, saya yakin itulah jalan tuk memasuki
pintu kebahagiaan hakiki.
Gubahan: Abdul Karim Abhaka 30 Maret 2015
Dibawah langit malam Banyuwangi.
Komentar
Posting Komentar