Kontribusi Al-Ghazali dalam Etika terapan.

Penerapan teori akhlak al-Ghazali

                Metode Perbaikan ahklak untuk orang dewasa

Setelah menegaskan bahwa akhlak bisa diubah, al-Ghazali selanjutnya menyarankan cara melaksanakan perbaikannya. Sependek penelaahan penulis pribadi terhadap Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn dan Mîzân al-‘Amal , disini penulis  membagi dua metode al-Ghazali untuk mendapatkan akhlak yang baik, yakni umum dan khusus (istilah penulis pribadi). Pertama, metode umum atau yang secara umum bisa dapat ditempuh setiap orang. Kedua, metode khusus, yakni metode mengenali atau mencari-cari aib diri sendiri secara lebih mendalam, karena objek yang diperbaikinya adalah hal yang ada di dalam diri, yakni hati.

1.            Metode Umum

Pertama, ialah karunia Tuhan, yakni beberapa orang memiliki akhlak yang baik secara alamiah, sebagai sesuatu pemberian Allah kepada mereka sewaktu dilahirkan. Mereka diciptakan dengan semua pembawaan jiwa yang sudah dalam keadaan seimbang. Pembawaan nafsu dan amarah mereka mematuhi perintah akal dan syariat, sehingga akhlak mereka adalah baik secara alamiah. Contoh orang-orang pada golongan ini ialah para nabi da rasul. Selain para nabi dan rasul mungkin juga ada orang yang secara alamiah telah memiliki akhlak yang baik semenjak dilahirkan.

Kedua, untuk mencapai akhlak yang baik, menurut al-Ghazali ialah dengan menempuh jalan yang paling umum, yakni (mujâhadah) dan (riyâdhah) yakni; bersusah-susah melakukan perbuatan yang baik untuk mencapai akhlak yang baik, sehingga menjadi kebiasaan dan sesuatu yang menyenangkan. Misalnya untuk memperoleh akhlak dermawan, seseorang perlu bersusah-susah melakukan perbuatan seperti seorang dermawan, misalnya mendermakan beberapa harta miliknya, dan terus-menerus tekun berprilaku demikian, sehingga menjadi semacam kebiasaan baginya.

Suatu perbuatan seseorang dapat dikatakan menjadi akhlak, jika dia merasa senang melakukannya. Oleh karena itu, mencapai rasa senang ialah kriteria untuk memperoleh suatu akhlak yang baik. Umpamanya, seseorang hanya dapat dikatakan memiliki akhlak pemurah jika ia sudah merasa nikmat dan senang mendermakan hartanya. Kebanyakan pandangan al-Ghazali tentang metode mencapai akhlak yang baik dengan pembiasaan berbuat baik juga ditemukan dalam karya etika para filsuf. Metode ini dipandangnya sebagai cara yang paling efektif untuk mencapai sifat jiwa yang baik.

Ketiga, Akhlak yang baik dapat pula diperoleh dengan memperhatikan orang-orang baik dan bergaul dengan mereka. Secara alamiah manusia adalah peniru akhlak seseorang, dan tanpa sadar bisa mendapat kebaikan dan keburukan dari orang lain. Jika seseorang bergaul dengan orang-orang yang saleh agak lama, dengan tidak sadar akan tumbuh dalam dirinya sendiri beberapa akhlak atau sifat baik yang dimiliki oleh orang-orang baik atau saleh tersebut.

Keempat, jika langkah ketiga tidak  dapat dilaksanakan, sebab tidak adanya orang-orang saleh di sekitarnya. Maka penelaahan kehidupan mereka melalui buku-buku, sudah memadai untuk menguatkan keinginan memperoleh akhlak-akhlak yang baik dan memudahkan pembinaannya. Inilah sebabnya, dalam membahas sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tercela, al-Ghazali sering menceritakan kisah orang-orang saleh yang mengalami perjuangan moral dan juga menganjurkan menelaah kitab hilyât al-Awliya, yang mengisahkan seluk-beluk para sahabat, para pengikut mereka dan orang-orang saleh .

2.            Metode Khusus

Metode khusus yang dimaksud penulis disini adalah, mengenali aib diri. Ketika seseorang mengenal aib diri sendiri, mata hatinya akan terbuka dan akan memudahkannya untuk memperbaikinya. Seumpama penyakit lahiriah yang ditangani seorang dokter, tentunya sebelum dokter menentukan obat yang akan diminum pasien dan dosis yang diperlukan, terlebih dahulu dokter tersebut mencoba mencari tahu jenis dan penyebab penyakitnya, yang nantinya akan mempermudah pengobatan pasein tersebut. Begitupun penyakit hati atau jiwa. Menurut al-Ghazali, ada empat cara untuk mengenali aib atau kelemahan pada diri sendiri.

Pertama, hendaknya menemui seorang guru yang mampu mengenali kelemahan-kelemahan jiwa, mampu melihat sifat-sifat buruk yang tersembunyi dan mengenali dirinya sendiri serta mengikuti perintah-perintahnya dalam perjuangan melawan hawa nafsu. Namun orang semacam ini sangat sulit ditemukan pada zaman sekarang.

Kedua, didampingi seorang sahabat sejati yang benar-benar jujur mau menunjukkan segala sifatnya yang buruk terlihat maupun yang tak terihat. Cara inilah yang ditempuh oleh Khlaifah Umar bin khattab yang sering berkata; “Semoga Allah mengasihi orang yang mau menunjukkan kesalahan-kesalahanku”. Orang yang seperti ini pun sangat sulit untuk didapatkan untuk zaman sekarang.

Ketiga, mengambil pelajaran dari orang-orang yang membenci dan memusuhi kita. Sebab orang yang membenci biasanya akan jujur mengungkapkan keburukan-keburukan seseorang yang dibencinya. Meskipun kecenderungan manusia umumnya mengingkari ucapan orang-orang yang memusuhinya dengan menganggap kata-katanya muncul sebagai rasa dengki, maka semestinya bagi orang yang mempunyai hati yang bersih ia akan berterima kasih karena dengan demikian keburukan-keburukan yang di miliki, dapat diketahui dan mempermudahnya untuk memperbaikinya.

Keempat, bergaul dengan masyarakat dan setiap keburukan yang dijumpainya pada masyakarat dapat dijadikan introspeksi diri bagi dirinya sendiri, seolah-olah keburukan itu melekat pada dirinya. Seperti disebutkan dalam sebuah hadis nabi, “Sesungguhnya seorang mukmin merupakan cermin bagi mukmin lain”. Sehingga melalui orang lain kita dapat melihat aib sendiri dan menyadari bahwa sifat manusia itu tidak jauh antara yag satu dengan yang lainnya, tidak jauh berbeda dalam hal memperturutkan hawa nafsu.

.               Metode pendidikan akhlak untuk anak-anak

Menurut al-Ghazali, pendidikan akhlak untuk anak-anak adalah tanggung jawab orang tua mereka, pendapatnya ini ia perkuat dengan mengutip ayat al-Qur’an “Hai orang-orang yang beriman, selamatkanlah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya ialah manusia dan batu” . Dan Para guru di sekolah juga bertanggung jawab pada hal ini dalam batas tertentu.

Metode perbaikan akhlak untuk anak-anak mirip dengan cara melatih orang dewasa berakhlak baik. Namun, titik berat pada kedua metode ini berbeda; dalam hal orang dewasa,pembiasaan diri merupakan metode dasar mencapai akhlak yang baik, dan oleh sebab itu mendapat tekanan lebih besar ketimbang pergaulan, tapi dalam kasus anak-anak adalah sebaliknya, yakni melindungi mereka dari pergaulan yang buruk dianggap sebagai dasar latihan bagi anak-anak untuk berakhlak baik.

Hal ini karena sebagian besar pengajaran akhlak untuk anak-anak adalah melalui peniruan. Pemberian pengetahuan tentang manfaat dan mudharat dari sifat-sifat baik dan buruk bagi akhirat tidak relevan dalam latihan moral pada masa kanak-kanak, karena akal mereka belum mampu memikirkan hal-hal seperti itu.

Hadiah dan hukuman dari orang tua dan pujian serta teguran dari orang lain, dapat dipergunakan sebagai alat membiasakan diri mereka untuk menjadi baik dan mencegah mereka dari perbuatan buruk. Adapun tujuan dari latihan moral terhadap anak-anak ialah untuk menanamkan benih budi pekerti tertentu, yang memungkinkan mereka jika dewasa nanti, dapat menghayati kehidupan dalam kesalehan yang akan menjamin kebahagiaan hakiki di akhirat kelak . Al-Ghazali berkata dalam Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn:

Jika seorang bapak membiasakan dan mengajarkan perbuatan baik  kepadan anaknya, anak itu akan tumbuh di atas kebaikan-keaikan tersebut dan akan selamat di dunia dan akhirat. Seorang bapak perlu melindungi anaknya dari bahaya api di dunia ini, tetapi yang lebih perlu lagi baginya ialah untuk menyelamatkan anak itu dari api neraka di akhirat. Cara memelihara anak itu dari api akhirat adalah dengan mendidiknya, melatihnya dan mengajarinya budi pekerti yang baik, mencegahnya berteman dengan orang-orang atau anak-anak yang jahat, tidak memanjakannya dan tidak memakaikan perhiasan atau sarana untuk kenyamanan hidup yang disukainya. Kalau tidak demikian, anak itu jika bertambah usianya akan menghabiskan waktunya mencari kesenangan tersebut dan oleh sebab itu akan rusaklah jiwanya sepanjang masa.  

Dalam rangka tujuan dan metode yang diungkapkan dalam kutipan bagian inilah, al-Ghazali menguraikan perincian latihan moral bagi anak-anak tersebut.

Menurut al-Ghazali, latihan moral bagi anak-anak harus dimulai sejak dini sekali. Anak itu harus diasuh oleh seorang perempuan salehah. Jika anak mulai pandai berbicara, dia mesti diajar nama Allah yang menciptakannya. Dia harus diperhatikan baik-baik pada usia mulai berakal, yang ditandai oleh timbulnya kesopanan pada dirinya, yakni yang terlihat dari dia menahan dirinya dari berbuat hal-hal yang jahat dan buruk, yang dinilainya tidak baik dengan akalnya. Karena kesopanan adalah sifat yang baik dan harus dijaga dengan sebaik-baiknya jika sudah muncul dalam perilaku seorang anak.

 

1.            Anak laki-laki

Pembiasaan sopan santun (etiket) yang baik

 

1.       Pergaulan

Untuk melindunginya terhadap kejelekan seperti dengki, fitnah, suka mencuri, campur tangan dan dendam, ia secara hati-hati dicegah bergaul dengan orang-orang yang jahat, karena biasanya anak-anak belajar kejahatan dari teman-temannya yang jahat.

Anak itu harus diberi hadiah untuk setiap perangai atau perbuatan baik yang diperlihatkannya dan berdasarkan hal itu dipuji di hadapan orang lain. Jika ia berbuat jahat untuk pertama kali, sebaiknya dilupakan saja. Namun kalau diulangi ia harus dipersalahkan secara rahasia dan diperingatkan bahwa orang akan mencelanya.

Menghargai teman-teman sejawatnya serta bersikap ramah terhadap mereka harus diajarkan kepadanya. Ia harus dilarang membanggakan harta orang tuanya ataupun makanan, pakaiannya sendiri dan semacamnya. Anak dari keluarga kaya mesti dididik tentang kebajikan bersedekah, sedangkan anak dari keluarga miskin harus diajar bahwa rakus dan mengambil barang yang bukan haknya adalah hal yang hina dan memalukan. Anak harus dididik untuk membenci emas dan perak dan takut terhadap barang-barang itu lebih daripada takutnya kepada ular dan kalajengking.

Ia mesti diajar agar dihadapan orang lain tidak boleh meludah, melecitkan ingus, menguap,  menopang dagu dengan lengannya atau menyangga kepalanya dengan tangan. Ia jangan dibiasakan untuk bersumpah, baik sumpahnya itu benar atau palsu. Ia harus berdiam diri dan hanya berbicara hanya kalau disuruh atau diperlukan. Ia harus diajarkan untuk tidak berbicara omong kosong, kasar, memaki, mencerca, dan dihindarkan dari mendengar perkataan orang lain yang semacam itu.

2.       Makanan dan minuman

Keinginan pertama yang terbit pada seseorang anak ialah ingin makanan dan kehendak ini haruslah didisiplinkan. Makanan  yang berasal sdari  yang tidak halal akan menjuruskan wataknya ke arah yang buruk.Ia harus diajari membaca basmalllâh  dan doa sebelum makan, menggunakan tangan kanannya, memulai dengan yang lebih dekat kepadanya, mengunyah makanannya dengan baik dan tidak mengotori tangan dan pakaiannya dengan makanan.

 Kebencian akan sifat rakus harus ditanamkan dalam ingatannya, dengan menyamakan orang yang rakus dengan hewan yang rendah dan memuji mereka yang berpuas diri dengan makanan seadanya. Ia harus dilatih untuk suka mendahulukan orang lain daripada ia sendiri dalam hal makanan dan agar ia mensyukuri apapun yang tersedia baginya. Ia mesti ditegur kalau keinginannya keterlaluan pada makanan dan minuman yang enak.

3.            Pakaian

Pakaian yang paling baik bagi anak laki-laki ialah yang putih dan kasar dan tidak berwarna. Ketidaksenangan kepada baju berwarna, sutera dan pakaian mewah harus ditanamkan dalam dirinya, karena. pakaian-pakaian itu adalah pakaian untuk perempuan dan banci. Ia tidak diperbolehkan bergaul dengan anak-anak yang mengenakan pakaian mewah. Semua ini akan melindunginya dari bentukan kebiasaan kenikmatan yang berlebih-lebihan, kesenangan, kemewahan dan sifat sombong.

4.            Di sekolah

Di sekolah, anak harus diajarkan al-Qur’an, hadis-hadis nabi dan kisah-kisah orang saleh, sehingga kecintaanya akan hal-hal ini tertanam dalam ingatannya. Ia jangan diizinkan mempelajari syair cinta dan berkawan dengan mereka yang berpendapat bahwa syair semacam itu mempertajam otak anak dan membuatnya pandai. Al-Ghazali berpendapat bahwa syair percintaan menaburkan benih keburukan dalam pikiran anak.

Ia harus dibantu mengembangkan kebiasaan berolah raga agar sehat jasmaninya. Ia jangan diperbolehkan tidur siang hari ataupun terlalu lama pada waktu malam, karena ini akan membuatnya jadi pemalas. Juga jangan diberi tempat tidur yang empuk atau perabot yang mewah, supaya tubuhnya bisa kuat dan membiasakannya menghadapi hidup yang keras. Ia juga semestinya disuruh untuk istirahat setelah pulang sekolah. Belajar terus-menerus tanpa istirahat akan membuatnya bosan dan jenuh. Ia harus dididik mematuhi guru-gurunya, orang tuanya dan semua yang lebih tua darinya, sanak saudara atau pun bukan. Ia  mesti diajar berkembang menjadi jantan dan berani, jika dipukul oleh gurunya ia harus tidak menangis atau mengomel, karena ini adalah tingkah laku para budak dan perempuan.

Pada usia mulai berakal, seorang anak  harus dilatih melakukan beberapa amal ibadat yang wajib seperti shalat wajib dan puasa wajib dalam bulan ramadhan. Pada tahap ini dia juga hendaknya diperingatkan bahaya emas, sutera, mencuri, makanan haram, berkhianat, menipu dan semua kesalahan yang biasanya banyak terdapat pada anak-anak. Karena nantinya, jika anak itu sudah berusia baligh ia akan bisa memahami alasan-alasan mendalam bagi segala hal yang diajarkan kepadanya ketika ia masih kecil, umpamanya; maksud daripada makan ialah untuk memperoleh kekuatan guna melaksanakan amal ibadat dan perbuatan baik yang lain dan bukan untuk kesenangan saja atau memuaskan nafsu makan. Dunia ini penting hanya sebagai lintasan ke kehidupan akhirat yang kekal. Alasan-alasan kuat ini akan terukir dalam ingatannya, karena ia telah terbiasa dengan ajaran moral yang baik.

2.            Anak perempuan

Menurut Zaki Mubarok, al-Ghazali belum pernah berbicara tentang metode perbaikan akhlak untuk anak perempuan secara mendetail. Semestinya dia juga berbicara tentang itu. Kenapa al-Ghazali hanya memusatkan perhatiannya kepada anak laki-laki? Karena pada masanya anak laki-laki dianggap berpotensi akan berkontribusi lebih, untuk masyarakatnya dimasa yang akan datang, dan pada masa al-Ghazali, pendidikan akhlak bagi anak perempuan belum menjadi perhatian serius ulama-ulama sebelumnya dan pada zamannya. 

Kesimpulan

Pertama, istilah “etika” bisa dipakai dalam arti: 1), nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; 2), kumpulan asas atau nilai moral; 3), Ilmu tentang yang baik dan buruk atau filsafat moral.  Etika dan etiket jika ditinjau secara bahasa, etika adalah moral (sebagai nomina) dan etiket adalah sopan santun. Etika dan etiket memiliki persamaan, yakni: 1)  menyangkut perilaku manusia, 2) mengatur perilaku manusia secara normatif. Adapun perbedaan antara keduanya, yakni: 1) Etiket menyangkut cara suatu perbuataan yang harus dilakukan manusia dan Etika bukan hanya terbatas pada cara dilakukannya perbuatan, namun etika juga memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. 2) Etiket hanya berlaku dalam pergaulan atau kehadiran orang lain dan Etika berlaku di segala keadaan, yakni hadir atau tidaknya orang lain. 3) Etiket bersifat relatif dan Etika bersifat absolut dan universal. 4) Etiket berbicara tentang sisi lahiriah manusia dan etika dari sisi batiniahnya.

Istilah ‘moral’ secara  etimologinya sama dengan etika. Moral bisa dipakai sebagai kata nomina dan kata sifat.Jika moral sebagai kata benda berarti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Jika sebagai kata sifat artinya sama dengan kata ‘etis’. Adapun moralitas, adalah  keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.

Istilah ‘akhlak’ dalam KBBI diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak  berasal dari bahasa arab; Akhlâq, yakni jamak dari khuluq, yang bermakna; ukuran, latihan dan kebiasaan. Makna-makna tadi, mengisyaratkan bahwa akhlak dalam perngertian budi perkerti adalah keadaan jiwa yang mantap, baru dapat dicapai setelah berulang-ulang latihan dan dengan pembiasaan diri melakukannya.

Kedua, istilah akhlak (khuluq) menurut al-Ghazali, selain dimaksudkan sebagai budi pekerti, juga bisa dikatakan dengan istilah etika, jika yang dimaksud adalah ilmu tentang yang baik dan buruk atau filsafat moral. Jadi, jika dikatakan “ etika al-Ghazali” berarti yang dimaksud adalah filsafat moral al-Ghazali. Karena al-Ghazali mendefinisikan istilah akhlak secara filosofis, dan meletakkan ukuran-ukuran suatu perbuatan bisa disebut sebagai akhlak (budi pekerti). Menurut al-Ghazali, akhlak (budi pekerti) manusia mungkin untuk diubah. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi manusia menurut cepat-lambatnya akhlaknya untuk diubah, kepada empat; 1)Jahil 2) Dhâll 3) Fasiq 4) Syarir. Pembagiaan manusia seperti ini, gunanya untuk mempermudah seseorang yang ingin diperbaiki akhlaknya.

Ketiga, menurut al-Ghazali metode perbaikan akhlak untuk orang dewasa, lebih ditekankan lewat pembiasaan, atau pengulangan suatu perbuatan hingga perbuatan itu menjadi watak. Melalui peneleaahan penulis pribadi terhadap kitab Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, penulis berkesimpulan bahwa perwujudan metode perbaikan akhlak untuk orang dewasa dapat dibagi kepada dua metode, yakni; metode umum dan khusus. Pertama, metode umum, akhlak(budi pekerti) seseorang bisa menjadi baik dengan; 1) karunia tuhan 2) mujâhadah dan riyâdhah 3) bergaul dengan orang saleh dan 4) penelaahan bacaan-bacaan mengenai orang-orang saleh. Kedua, metode khusus, yakni dengan pengenalan terhadap aib diri sendiri, dengan empat cara, 1) berguru kepada seorang mursyid yang mampu mengenali sifat-sifat buruk yang terdapat dalam dirinya. 2) Meminta seorang sahabat sejati yang jujur, dan mau menunjukkan segala sifat yang buruknya. 3), mengambil pelajaran dari orang-orang yang membenci dan memusuhinya. 4), bergaul dengan masyarakat dan setiap keburukan yang dijumpainya pada masyakarat dapat dijadikan introspeksi diri bagi dirinya sendiri, seolah-olah keburukan itu melekat juga pada dirinya.

Menurut al-Ghazali, pendidikan akhlak untuk seorang anak adalah tanggung jawab  bagi orang tuanya, dan pendidikan itu harus dimulai sedini mungkin. Bagi al-Ghazali pendidikan anak lebih ditekankan kepada perlindungan anak tersebut dari pergaulan yang buruk. Tujuannya adalah untuk menanamkan benih akhlak (budi pekerti) yang baik, agar memungkinkan mereka jika dewasa nanti, dapat menghayati kehidupan dalam kesalehan, dan pada akhirnya akan menjamin kebahagiaan hakiki di akhirat kelak. Adapun praktik pendidikanya dapat diwujudkan melalui pembiasaan sopan santun (etiket) yang baik, agar nantinya menghasilkan akhlak-akhlak yang baik bagi diri anak tersebut. Pembiasaan etiket yang baik ini, dijabarkan begitu rinci dalam Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn. Misalnya dalam hal pergaulan di rumah dan di sekolah, sopan santun dalam berpakaian, makan dan minum dan lain sebagainya. Namun, menurut Zaki Mubarok, Al-Ghazali lebih banyak berbicara tentang pendidikan akhlak untuk anak laki-laki, dan kurang menyentuh pendidikan akhlak untuk anak perempuan.

Saran-saran

Pertama, karena makalah yang penulis tulis ini masih mengandung banyak kesalahan maupun kekeliruan, maka pembaca dapat saja menguji kembali hasil penelitian yang penulis lakukan.

Kedua, bagi penulis, al-Ghazali bisa dikatakan berbicara tentang teori etika menurut pandangan Islam. Maka, penulis berikutnya bisa saja membuat kajian perbandingan dengan teori etika menurut pandagan barat, misalnya. Sehingga, memungkinkan untuk ditemukannya titik-titik persamaan dan perbedaan antara teori etika Islam dan barat, yang direpresentasikan oleh tokoh-tokohnya masing-masing

Komentar

Postingan Populer