Membaca Al-Ghazali dan Teorisasi Filsafat moralnya

 Al-Ghazali dan perjalanan intelektualnya.

Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali. Ia dilahirkan pada tahun 450 H atau 1057 M (menurut pendapat paling kuat) di kota Thus, di kawasan Khurasan, Persia. Ayah al-Ghazali meninggal ketika ia dan adiknya (Ahmad), masih kanak-kanak. [1] Ayahnya mewasiatkan kedua anaknya tersebut untuk belajar kepada temannya, yang dikenal sebagai seorang sufi. Pada masa itu, ia mempelajari al-Qur’an dan hadis, riwayat para wali-wali Allah, beserta keadaan kejiwaan mereka. Al-Ghazali kemudian belajar  ilmu hukum Islam di pusat kota Thus kepada  guru Ahmad al-Radzkani, dan selanjutnya ke kota Jurjan  kepada guru Abu Nashr al-Isma’ily. Kemudian, dalam tiga tahun selanjutnya ia belajar tasawuf di bawah bimbingan Yusuf al-Nassaj dan mulai mendalami keadaan-keadaan jiwa orang-orang saleh, sambil melakukan riyadhoh[2]  guna pemurnian jiwa dan perbaikan akhlaknya.

Al-Ghazali lalu pergi ke Nisyapur tahun 1077 M untuk belajar ilmu Kalam, usul fikih, filsafat  dan logika dari al-Juwayni yang dikenal sebagai Imam al-Haramayn, seorang ahli ilmu Kalam paling ternama pada masa itu. Besar sekali kemungkinan, bahwa dibawah bimbingan imam ini, ia juga belajar tasawuf, karena sang imam dulunya murid seorang sufi masyhur yakni; Abu nu’aym al-Isfahani.

Ketika al-Ghazali sebagai mahasiswa di Nisyapur, ia juga sambil berusaha mendalami teori dan praktik tasawuf dari seorang guru yang bernama al-Farmadzi yang menjadi pemimpin kaum sufi disana, dibawah bimbingannya, al-Ghazali melakukan latihan-latihan keras seperti para sufi kebanyakan. Namun, dia tidak mencapai kasyf.[3] Kemungkinan besar, karena sebab ini, ia kemudian berpaling dari tasawuf dan beralih menggeluti ilmu Kalam dan filsafat, tapi dalam krisisnya tahun 1095 M dia kembali ke dunia tasawuf dan tetap menjadi seorang sufi dan ahli ilmu Kalam hingga akhir hayatnya.[4]

Al-Ghazali beralih ke jalan tasawuf karena ia yakin bahwa para sufi adalah orang-orang pencari kebenaran yang telah betul-betul mencapai tujuan. Dengan menelaah beberapa karya sufi yang agung, ia mengerti sepenuhnya segala aspek ilmu tasawuf dan menyadari bahwa sesuatu yang khusus dalam ilmu tersebut tidak bisa dipahami dengan penelahaan karya-karya para sufi saja, tapi harus juga lewat pengalaman langsung, dengan jalan perbaikan dan perubahan moral. Ia menyadari dengan jelas, bahwa para sufi bukanlah orang-orang yang suka mengumbar kata-kata (ashâb al- aqwâl) tetapi mereka adalah orang-orang yang nyata berpengalaman (ashâb al ahwâl), dan yang perlu ia lakukan ialah; menghayati kehidupan mereka, berlatih seperti mereka berlatih dan mengesampingkan urusan keduniaan.[5]

Pada saat itu, al-Ghazali telah memiliki kembali keyakinan teguh akan keesaan Allah, kerasulan dan hari akhirat, dan merasa takut yang maha dahsyat akan hari akhirat. Ia berpikir, ia tentu akan dihukum di neraka jika ia tidak hidup dalam kesalehan dan yang perlu bagi hidup demikian pikirnya adalah; memutuskan hubungan jiwanya dengan hal-hal duniawi untuk menghadap Allah, ini hanya dapat dicapai dengan mengabaikan kekayaan dan kedudukan. Kemudian lari dari segala kegiatan yang membuat waktunya sia-sia.

Ketika masa itu, al-Ghazali mengamati hidupnya, tulisan dan ajarannya dan berpendapat bahwa semua itu tidak ada nilainya dibanding dengan fakta-fakta besar perihal surga dan neraka, semua itu diusahakannya demi kejayaan yang sia-sia dan bukan untuk menggapai ridha Allah. Jika ia ingin mengharapkan kebahagiaan abadi di hidup yang akan datang, ia harus mengabdi sepenuhnya kepada Allah sebagai seorang sufi sejati. Karena itu, ia meninggalkan jabatan mahaguru dan seluruh karirnya sebagai pakar ilmu hukum Islam dan ilmu Kalam, melepaskan dirinya dari seluruh kekayaannya, serta merasa tidak bisa hidup secara jujur di masyarakat Baghdad. Dia lalu berangkat ke Damaskus pada November 1095 M.

Al-Ghazali mengabdikan dirinya pada latihan-latihan seperti para sufi kebanyakan dengan menyepi dan menyendiri. Dia menyibukkan jiwanya dengan menghilangkan sifat-sifat buruk dari dirinya, memperindahnya dengan kebajikan-kebajikan dan mengisi jiwanya dengan zikir kepada Allah, sesuai dengan pengetahuan yang telah didapatnya sebelumnya dari mempelajari tulisan-tulisan beberapa sufi besar. Dengan latihan jiwa yang berat selama sepuluh tahun ia melewati Damaskus, Jerussalem, Hebron, Hijaz, Irak dan Thus. Banyak rahasia yang dibukakan kepadanya selama tahun-tahun itu dan ia menjadi semakin yakin bahwa jalan sufi adalah jalan yang terbaik yang pantas dilalui manusia.[6]

Dalam buku al-Munqidz min al-Dholâl (sebuah otobiografi yang ditulis oleh al-Ghazali sendiri) ia berkata:

Saya mengetahui dengan pasti bahwa para sufi lah yang berjalan di jalan Allah, hidup mereka ialah hidup yang terbaik, cara hidup mereka adalah cara yang paling benar dan watak mereka adalah yang termurni. Sesungguhnya jika kecerdasan para cendekiawan, keahlian orang-orang yang terpelajar dan pengetahuan para ulama perihal kedalaman pengetahuan mereka mengenai ilmu-ilmu agama dihimpun, dalam usaha menyempurnakan kehidupan dan watak para sufi, maka mereka tak akan mampu melakukannya. Karena bagi seorang sufi, semua gerak dan diam secara lahir maupun batin berasal dari penerangan cahaya wahyu kenabian dan selain cahaya wahyu kenabian tidak terdapat cahaya lain di permukaan bumi ini, yang mana dari sana lah ilham dari Allah dapat diterima.[7]

 Sikap al-Ghazali yang seperti ini terhadap tasawuf dan seorang sufi terus tidak berubah, hingga akhir hayatnya dan ini adalah salah satu faktor terpenting bangunan pemikiran etikanya.[8]

 

Karya-karya Al-Ghazali tentang etika.

 

Karya pertama Al-Ghazali yang berbicara tentang etika adalah Maqâshid al-Falâsifah dan Tahâfut al-Falâsifah .  Buku Maqâshid al-Falâsifah  ditulis antara tahun 484 H/1091 M dan  486 H/1094 M selama periode kurang dari dua tahun, ketika dia mengkaji filsafat pada waktu senggangnya. Karya Al-Ghazali yang terpenting mengenai teori etikanya yang dijelaskannya secara terperinci dan sistematis, adalah karya monumentalnya, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn  dan Mîzan al-‘Amal.[9]Dua buku inilah menjadi fokus perhatian penulis dalam menggali teori etika al-Ghazali beserta penerapannya.

 

Latar belakang pembentukan etika al-Ghazali.

 

Sepanjang periode sufi kehidupan al-Ghazali, yang berlangsung sejak keberangkatannya dari Baghdad sampai meninggalnya pada 18 desember 1111 M, ia kabarnya telah mengarang karya-karya tentang etika, yang sebagian besar diakui oleh para ahli, otentik seluruhnya. Ciri-ciri teori etika yang dipaparkan dalam karya-karyanya pada periode ini ada kaitannya dengan latar belakang kehidupannya ketika ia menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Penelaahannya yang mendalam mengenai karya-karya para sufi, menimbulkan dalam hatinya suatu kecemasan hebat akan hukuman di hari akhirat, yang membawanya kepada kehidupan menyepi dengan amal ibadah dan riyâdhah.

Jika dilihat dari segi praktis, masalah yang dihadapinya semasa periode sufi ialah mempersiapkan dirinya untuk menghindar dari hukuman Allah dan guna mencapai kebahagiaan di akhirat kelak atau lebih tepatnya untuk mencegah diabaikan oleh Allah dan demi mendapatkan keakraban dengan-Nya. Dari segi intelektual adalah untuk menyampaikan pemikiran dan pengalaman kesufiannya kepada orang lain sehingga mereka pun mungkin mencapai tujuan yang sama, sebagaimana yang telah ia capai. Jadi, perhatian utama hidup dan pemikirannya semasa periode sufi ialah untuk memperoleh kehidupan akhirat yang baik. Pertimbangan ini menentukan beragam aspek teori etikanya, sehingga teori etikanya bersifat religius dan sufistik.

Teori etika al-Ghazali dapat juga dikatakan bercorak teleologis (aliran filsafat yang mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini ada tujuannya) sebab, ia menilai amal dengan mengacu kepada tujuannya.[10] Dikarenakan etika al-Ghazali mengajarkan bahwa manusia punya tujuan yang agung, yaitu kebahagiaan di akhirat. Yakni bahwa amal itu baik, kalau ia menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan tersebut, dan dikatakan amal itu buruk kalau jiwa terhalangi untuk mencapai tujuan itu.[11]

 

Sumber-sumber teori etika al-Ghazali

 

Sumber pokok teori etika al-Ghazali adalah tulisan-tulisan para sufi sebelum dia, yang ia telaah sendiri, sebelum ia menjadi penganut tasawuf sejati, disebutnya sumber itu seperti Qût al-Qulûb oleh al-Makki, karya-karya al-Muhâsibi, berbagai ucapan tersebar (mutafarriqât) oleh al-Junayd, asy-Sybli, Abu Yazid al-Busthami dan risalah-risalah sufi terkemuka yang lain. Semua buku ini pada dasarnya berurusan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di hari akhirat.[12]

Paham-paham mereka merupakan dasar bagi pemikiran akhlak al-Ghazali dan kadang-kala ajaran-ajaran itu langsung dipinjamnya guna membantu menyampaikan maksudnya sendiri dalam karya-karyanya. Namun menurut al-Ghazali, kebanyakan teori etika mereka ini belum lengkap pembahasannya  dan kurang bagus penjelasannya. Sebab itu, ia berusaha membangun suatu sistem etika yang lengkap, bebas dari kekurangan tapi menuruti garis yang dianjurkan dalam karya-karya para sufi pendahulunya. Ciri khas karya etika terbesarnya, yakni Ihya ‘Ulûm al-Dîn, dilukiskan sebagai berikut:

Memang benar, bahwa orang-orang terdahulu telah menulis berbagai buku mengenai hal-hal ini, tapi buku ini berbeda dengan semua itu di dalam lima perkara. Pertama, dengan menjelaskan apa yang mereka biarkan kabur dan menerangkan apa yang mereka bicarakan sepintas lalu. Kedua, dengan menyusun apa yang mereka biarkan tidak teratur dan menata kembali apa-apa masih yang berserakan. Ketiga, dengan memaparkan apa yang mereka teliti dengan seksama. Keempat, dengan menghapus apa yang mereka ulangi dan memeriksa kembali apa yang mereka catat. Kelima, dengan memperjelas hal-hal yang masih kabur, yang sampai kini tak dapat dipahami dan belum pernah dibahas dalam karya mana pun, karena meski setiap orang telah mengikuti suatu aliran paham, tak ada alasan untuk tidak memperbolehkan seseorang bebas melangkah dan membuka rahasia sesuatu yang belum diketahui.[13]

Al-Ghazali dalam menulis karya-karya etikanya banyak mengambil bahan dari kitab-kitab suci dan hadis nabi Muhammad saw. Kitab-kitab suci seperti; Al-Qur’an, Injil, Taurat, Zabur dan suhuf Ibrahim. Dari semua kitab suci tersebut, al-Qur’an yang paling banyak dia ambil. Tentang pengetahuan perihal hadis, dia dapatkan dari karya-karya sufi, khususnya Qût al-Qulûb al-Makki, yang memuat banyak sekali hadis nabi.

Al-Ghazali juga menurunkan paham-paham etikanya dari karya-karya filsuf  tentang etika. Pada zamannya, karya-karya ini terdapat dalam dua macam. Pertama ialah; terjemahan dari karya-karya filsuf Yunani tentang filsafat moral, seperti, Aristoteles dan Galineus. Kedua, yaitu buku-buku para filsuf muslim dan beberapa penerjemah Kristen, seperti Yahya ibn ‘Adi dan Qustha ibn Luqa. Perihal karya-karya etika para filsuf muslim, kebanyakannya sudah ia telaah. Ia sendiri mengatakan, bahwa buku-buku al-Farabi dan Ibn Sina sudah dikajinya secara mendalam.[14]

 

Tujuan etika al-Ghazali

 

Sisi paling menonjol dari  tujuan pemikiran etika al-Ghazali terpusat pada kebahagiaan nasib “individu” di akhirat kelak . Tujuan etika al-Ghazali ini begitu jelas diterangkannya dalam bukunya Mîzân al-‘Amal[15] Oleh karena itu, al-Ghazali belum menjelaskan bangunan teori etikanya dari pendekatan sosiologi, psikologi ataupun antropologi dan sejenisnya. Kalaupun terdapat pendekatan ataupun pemahaman yang mirip seperti itu, hal itu bukan merupakan komitmen yang menjadi perhatiannya sejak awal.[16]

Teori Etika al-Ghazali

Pengertian

 

Istilah khulûq (baca; akhlak/etika) sudah ada, sebelum al-Ghazali berbicara tentang etika dalam karya-karyanya. Dalam sebuah hadis Rasulullah pernah bersabda  “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti (akhlak) yang baik”. Ibnu Miskawayh juga telah menulis buku khusus yang berbicara tentang etika, yang berjudul Tahdzîb al-Akhlâq. Buku yang ditulis Ibnu Miskawayh ini, penjelasannya hampir menyerupai buku-buku ilmu etika atau filsafat moral yang ditulis oleh para filsuf Yunani, yang selanjutnya diikuti oleh beberapa filsuf muslim.[17]

Adapun akhlak atau etika menurut pandangan al-Ghazali, bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan buruk, bukan pula kemampuan (qudrah) untuk melakukan sesuatu yang baik dan buruk, bukan pula hanya sekadar perbuatan (fi’il) yang baik dan buruk, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap atau stabil. Pengertian Akhlak mengenai menurut al-Ghazali ini terdapat dalam Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, yang berbunyi:

 

الخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الافعال بسهولة و يسر من غير حاجة الى فكر و روية فان كانت الهيئة بحيث تصدر عنها الافعال الجميلة المحمودة عقلا وشرعا سميت تلك الهيئة خلقا حسنا و ان كان الصادر عنها الافعال القبيحة سميت الهيئة التي هي المصدر خلقا سيئا

 

Akhlak berarti suatu kemapanan keadaan jiwa yang menghasilkan perbuatan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Jika keadaan jiwa itu sudah menjadi mapan atau mantap, sehingga menghasilkan perbuatan-perbuatan yang baik, yaitu perbutan yang terpuji menurut akal dan syariat – maka ini disebut akhlak yang baik. Jika perbuatan-perbuatan yang tercela, yang muncul dari keadaan  (yang sudah mapan) itu, maka itu dinamakan akhlak yang buruk.”[18]

 

Dari definisi diatas jelas terbaca, bahwa ada dua keadaan jiwa yang harus terpenuhi sehingga ia dapat disebut akhlak/etika. Keadaan jiwa yang pertama adalah stabilitas atau kemapanan. Misalnya, seseorang yang berakhlak pemurah atau dermawan, ialah orang yang kemauannya untuk mendermakan kekayaannya telah menjadi mapan dan relatif permanen dalam jiwanya. Seorang yang jarang berderma, yang kalaupun melakukannya, hanya karena adanya faktor-faktor luar, tidak dapat dikatakan sebagai orang yang berakhlak pemurah atau dermawan. Syarat kedua ialah timbulnya tindakan-tindakan yang mudah dan spontan dari suasana jiwa yang telah mapan. Karena itu, seseorang pemurah ialah orang yang mendermakan hartanya dengan mudah dan tanpa paksaan.

 

Apa yang dimaksud dengan akhlak yang baik ?

 

Bagi al-Ghazali suatu akhlak baik adalah yang berada antara dua kutub ekstrem, yakni  yang berada di pertengahan. Kemudian timbullah pertanyaan, bagaimana menentukan sifat suatu perbuatan dikatakan baik. Menurut al-Ghazali sifat pertengahan ialah  yang telah ditetapkan oleh akal dan syariat. Al- Ghazali berpendapat bahwa alasan pokok untuk memperhatikan jalan pertengahan itu ialah; fakta bahwa manusia hanya bisa mencapai kebahagiaan di akhirat, jika waktu meninggal jiwanya memiliki sifat malaikat, karena substansinya adalah identik dengan zat malaikat dan alam asalnya ialah alam malaikat.  Hanya jiwa yang bebas dari ikatan inilah yang diampuni, karena Al-Qur’an berkata, bahwa tak seorang pun diampuni “kecuali dia yang datang kepada Allah dengan jiwa yang bebas.” Jiwa hanya dapat dibebaskan dengan mempertahankan jalan pertengahan. Al-Ghazali menjelaskan ini dengan contoh-contoh, misalnya orang yang berwatak kikir menyibukkan dirinya dengan menyimpan harta dan orang yang berwatak boros sibuk dengan selalu membelanjakan harta; dalam mencapaikan kemerdekan dari ikatan ini, orang harus bebas dari kedua sifat membelanjakan dan menyimpan harta dunia tersebut. Tapi karena hal ini secara manusiawi tidaklah mungkin, dia harus mencapai apa yang terdekat dan hampir serupa dengan itu, dan ini tercapai dengan menjaga sikap pertengahan dalam berbelanja. Jiwa seseorang yang selalu berada di jalan pertengahan dalam mengeluarkan harta boleh dikatakan bebas dari kedua sifat cinta harta tersebut, persis seperti air suam-suam kuku yang tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin.

Jika dia selalu bersikap pertengahan dalam semua urusan, jiwanya tak akan punya kaitan pada benda duniawi mana pun. Kata al-Ghazali, dengan alasan inilah maka syariat memerintahkan kondisi jiwa pertengahan ini. Dia juga berpendapat, bahwa tidak mungkin orang senantiasa selalu berada di jalan pertengahan yang benar. Oleh sebab itu, tidak seorangpun akan terhindar dari penderitaan di akhirat. Dia memberi penjelasan dengan menyatakan, bahwa jalan pertengahan itu ialah jalan lurus yang diperintahkan al-Qur’an untuk ditaati oleh manusia, tapi jalan itu,  yakni yang pertengahan, sukar sekali diikuti; jadi manusia dapat mendekatinya tetapi tidak dapat mencapainya.

 

Mungkinkah akhlak diubah ?

 

Sebelum menjelaskan metode perbaikan akhlak, al-Ghazali dalam kitabnya Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn lebih dahulu menegaskan pandangannya bahwa perubahan akhlak itu adalah mungkin sepanjang ia melalui usaha dan latihan moral yang sesuai. Al-Ghazali menyangkal pandangan beberapa pendahulunya yang menafikan kemungkinan perubahan sifat pembawaan manusia. Menurut al-Ghazali, fungsi agama Islam yang utama, ialah membimbing manusia memperbagus akhlaknya. Jika akhlak tidak dapat diubah. Maka semua perintah, teguran, anjuran dan ancaman agama akan tidak berguna sama sekali. Rasulullah  Saw telah bersabda : Perbaguslah akhlak kalian”. Jika perubahan akhlak seorang manusia tidak mungkin, maka tidak mungkin umat Islam diperintahkan untuk memperbagus akhlaknya, baik akhlak individu secara khusus atau akhlak masyarakat secara lebih luas.

Kemudian, hampir setiap orang mengakui, bahwa perubahan sifat pada hewan saja mungkin. Binatang  seperti singa umpamanya, sifatnya bisa diubah dari buas menjadi jinak. Jika ini mungkin, apalagi perbaikan akhlak manusia yang dikaruniai akal oleh Allah.

Al-Ghazali menyatakan bahwa perubahan akhlak tidak menuntut agar pembawaan hawa nafsu dan amarah yang terdapat dalam diri setiap manusia dihilangkan sama sekali atau ditindas, karena hal ini tidak mungkin selama manusia masih hidup. Perubahan hanya menghendaki pengendalian hawa nafsu dan amarah kepada keaadaan  pertengahan. Dan pengalaman hidup telah membuktikan, bahwa hal itu mungkin terjadi dengan jalan latihan dan pendidikan moral. Akan tetapi kecepatan perubahan itu berbeda atau tidak sama pada setiap orang. Al-Ghazali menjelaskan perbedaan ini dengan membagi manusia pada empat macam  menurut cepat-lambatnya akhlak seseorang dapat diubah.[19]

 

Pertama, terdiri dari orang-orang yang lengah, yang  belum dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil dan antara sesuatu yang baik dan yang buruk. Orang-orang macam ini masih terbebas dari kehendak untuk mengikuti hawa nafsu. Nafsu jasmani mereka tidak terlalu kuat, karena mereka tidak memperturutkannya. Maka akhlak seseorang yang semacam ini, dapat menjadi baik dalam waktu singkat jika dididik dengan benar.Orang semacam ini hanya membutuhkan kepada guru pembimbing  dan hal-hal yang mendorong dirinya kepada kebenaran dan kebaikan

Kedua, ialah sesorang yang tahu tentang keburukan, tapi tidak menjauhkan diri darinya, sebab dia merasa perbuatan burukya itu nikmat untuk dilakukan. Perbaikan akhlak seseorang yang seperti ini, lebih sukar daripada yang ditingkat pertama, tetapi masih mungkin diperbaiki dengan upaya yang giat.

Ketiga, mereka yang percaya bahwa perilaku jahat yang mereka perbuat  adalah “benar dan baik,” dan dengan demikian mereka menuruti jalan yang tercela itu dengan sepenuh hati. Akhlak seseorang yang tergolong macam ini hampir tidak mungkin dirubah.

Keempat, ialah mereka yang selain berbuat buruk, juga  “mengganggap baik” dan merasa bangga dengan perbuatan buruk yang mereka kerjakan. Mereka ini yang paling sukar akhlaknya untuk diubah menjadi lebih baik.

Orang-orang pada tingkatan pertama disebut oleh al-Aghazali sebagai orang-orang bodoh (Jâhil) yang ditingkat kedua, bodoh dan tersesat (Dhâll) yang di tingkat ketiga bodoh, tersesat dan jahat (Fâsiq) dan di tingkat keempat bodoh, tersesat jahat dan bandel (Syarîr)[20]

Bersambung

[1] Muhammad As-Sayyid Al-Jalayand, al-Imam al-Ghazali (450-505 H) dirâsât wa buhûs, (Kairo: Dâr al-Hâni 2006) hlm d.

[2] Riyâdhoh: melatih diri, yakni bersusah payah melakukan amal perbuatan untuk  yang menjurus kepada akhlak yang baik, sehingga menjadi suatu kebiasaan.Lihat, Al-Jurjâni Al-Ta’rifât (Kairo: Dâru al-Fadhîlah, Cet 2, 2012) hlm.98.

[3] Kasyf: ketersingkapan makna-makna gaib dan hakikat-hakikat sesuatu, wujûd(an) wa syuhûd(an). Lihat, Al-Jurjâni Al-Ta’rifât (Kairo: Dâru al-Fadhîlah, Cet 2, 2012) hlm. 154.

[4] Muhammad Abul Quasem, The Ethic of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam  (Kuala Lumpur, 1975) hlm. 4.

[5] Ibid.hlm. 7.

[6] Ibid, hlm.9.

[7] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dholâl, (Kairo: Maktabah al-îmân,, 2004) hlm 299.

[8] Muhammad Abul Quasem, The Ethic of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam ( Kuala Lumpur, 1975) hlm. 9

[9] Muhammad Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical Norms in Al-Ghazali and Immanuel Kant ( Ankara, 1992) hlm 14-15.

[10] Muhammad Abul Quasem, The Ethic of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam( Kuala Lumpur, 1975) hlm. 13-14.

[11] Muhammad Muslih, Pengantar Filsafat,( Ponorogo, Darussalam Uniersty Press, 2008) hlm. 75

[12] Ibid. hlm. 19.

[13] Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, (Alepo: Dâru al-Wa’y, Cet 1, 1998) hlm 20.

[14] Muhammad Abul Quasem, The Ethic of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Kuala Lumpur, 1975) hlm. 20-21.

[15] Abu Hamid al-Ghazali, Mîzân al-‘Amal,(Beirut;al-Maktabah al-‘Ashriyyah,Cet 1,2012) hlm 87

[16] Muhammad Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical Norms in Al-Ghazali and Immanuel Kant ( Ankara, 1992) hlm 261-262.

[17] Zaki Mubarok, Al-Akhlâk ‘Inda Al-Ghazâli, hlm159.

[18] Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, (Alepo: Dâru al-Wa’y, Cet 1, 1998) hlm  84

[19] Abu Hamid al-Ghazali, Mîzân al-‘Amal, (Beirut;al-Maktabah al-‘Ashriyyah,Cet 1,2012) hlm 56

[20] Ibid, hlm 57

Komentar

Postingan Populer