Membaca Al-Ghazali dan Teorisasi Filsafat moralnya
Al-Ghazali dan perjalanan intelektualnya.
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn
Muhammad al-Ghazali. Ia dilahirkan pada tahun 450 H atau 1057 M (menurut
pendapat paling kuat) di kota Thus, di kawasan Khurasan, Persia. Ayah
al-Ghazali meninggal ketika ia dan adiknya (Ahmad), masih kanak-kanak. [1] Ayahnya
mewasiatkan kedua anaknya tersebut untuk belajar kepada temannya, yang dikenal
sebagai seorang sufi. Pada masa itu, ia mempelajari al-Qur’an dan hadis,
riwayat para wali-wali Allah, beserta keadaan kejiwaan mereka. Al-Ghazali
kemudian belajar ilmu hukum Islam di
pusat kota Thus kepada guru Ahmad
al-Radzkani, dan selanjutnya ke kota Jurjan
kepada guru Abu Nashr al-Isma’ily. Kemudian, dalam tiga tahun
selanjutnya ia belajar tasawuf di bawah bimbingan Yusuf al-Nassaj dan mulai
mendalami keadaan-keadaan jiwa orang-orang saleh, sambil melakukan riyadhoh[2]
guna pemurnian jiwa dan perbaikan
akhlaknya.
Al-Ghazali lalu pergi ke Nisyapur tahun 1077 M untuk belajar ilmu
Kalam, usul fikih, filsafat dan logika
dari al-Juwayni yang dikenal sebagai Imam al-Haramayn, seorang ahli ilmu Kalam
paling ternama pada masa itu. Besar sekali kemungkinan, bahwa dibawah bimbingan
imam ini, ia juga belajar tasawuf, karena sang imam dulunya murid seorang sufi
masyhur yakni; Abu nu’aym al-Isfahani.
Ketika al-Ghazali sebagai mahasiswa di Nisyapur, ia juga sambil
berusaha mendalami teori dan praktik tasawuf dari seorang guru yang bernama
al-Farmadzi yang menjadi pemimpin kaum sufi disana, dibawah bimbingannya,
al-Ghazali melakukan latihan-latihan keras seperti para sufi kebanyakan. Namun,
dia tidak mencapai kasyf.[3]
Kemungkinan besar, karena sebab ini, ia kemudian berpaling dari tasawuf dan
beralih menggeluti ilmu Kalam dan filsafat, tapi dalam krisisnya tahun 1095 M
dia kembali ke dunia tasawuf dan tetap menjadi seorang sufi dan ahli ilmu Kalam
hingga akhir hayatnya.[4]
Al-Ghazali beralih ke jalan tasawuf karena ia yakin bahwa para sufi
adalah orang-orang pencari kebenaran yang telah betul-betul mencapai tujuan.
Dengan menelaah beberapa karya sufi yang agung, ia mengerti sepenuhnya segala
aspek ilmu tasawuf dan menyadari bahwa sesuatu yang khusus dalam ilmu tersebut
tidak bisa dipahami dengan penelahaan karya-karya para sufi saja, tapi harus
juga lewat pengalaman langsung, dengan jalan perbaikan dan perubahan moral. Ia
menyadari dengan jelas, bahwa para sufi bukanlah orang-orang yang suka
mengumbar kata-kata (ashâb al- aqwâl) tetapi mereka adalah orang-orang
yang nyata berpengalaman (ashâb al ahwâl), dan yang perlu ia lakukan
ialah; menghayati kehidupan mereka, berlatih seperti mereka berlatih dan
mengesampingkan urusan keduniaan.[5]
Pada saat itu, al-Ghazali telah memiliki kembali keyakinan teguh
akan keesaan Allah, kerasulan dan hari akhirat, dan merasa takut yang maha
dahsyat akan hari akhirat. Ia berpikir, ia tentu akan dihukum di neraka jika ia
tidak hidup dalam kesalehan dan yang perlu bagi hidup demikian pikirnya adalah;
memutuskan hubungan jiwanya dengan hal-hal duniawi untuk menghadap Allah, ini
hanya dapat dicapai dengan mengabaikan kekayaan dan kedudukan. Kemudian lari
dari segala kegiatan yang membuat waktunya sia-sia.
Ketika masa itu, al-Ghazali mengamati hidupnya, tulisan dan
ajarannya dan berpendapat bahwa semua itu tidak ada nilainya dibanding dengan
fakta-fakta besar perihal surga dan neraka, semua itu diusahakannya demi
kejayaan yang sia-sia dan bukan untuk menggapai ridha Allah. Jika ia ingin
mengharapkan kebahagiaan abadi di hidup yang akan datang, ia harus mengabdi
sepenuhnya kepada Allah sebagai seorang sufi sejati. Karena itu, ia
meninggalkan jabatan mahaguru dan seluruh karirnya sebagai pakar ilmu hukum
Islam dan ilmu Kalam, melepaskan dirinya dari seluruh kekayaannya, serta merasa
tidak bisa hidup secara jujur di masyarakat Baghdad. Dia lalu berangkat ke
Damaskus pada November 1095 M.
Al-Ghazali mengabdikan dirinya pada latihan-latihan seperti para
sufi kebanyakan dengan menyepi dan menyendiri. Dia menyibukkan jiwanya dengan
menghilangkan sifat-sifat buruk dari dirinya, memperindahnya dengan
kebajikan-kebajikan dan mengisi jiwanya dengan zikir kepada Allah, sesuai
dengan pengetahuan yang telah didapatnya sebelumnya dari mempelajari
tulisan-tulisan beberapa sufi besar. Dengan latihan jiwa yang berat selama
sepuluh tahun ia melewati Damaskus, Jerussalem, Hebron, Hijaz, Irak dan Thus.
Banyak rahasia yang dibukakan kepadanya selama tahun-tahun itu dan ia menjadi
semakin yakin bahwa jalan sufi adalah jalan yang terbaik yang pantas dilalui manusia.[6]
Dalam buku al-Munqidz min al-Dholâl (sebuah otobiografi yang
ditulis oleh al-Ghazali sendiri) ia berkata:
Saya mengetahui dengan pasti bahwa para sufi lah yang berjalan di
jalan Allah, hidup mereka ialah hidup yang terbaik, cara hidup mereka adalah
cara yang paling benar dan watak mereka adalah yang termurni. Sesungguhnya jika
kecerdasan para cendekiawan, keahlian orang-orang yang terpelajar dan
pengetahuan para ulama perihal kedalaman pengetahuan mereka mengenai ilmu-ilmu
agama dihimpun, dalam usaha menyempurnakan kehidupan dan watak para sufi, maka
mereka tak akan mampu melakukannya. Karena bagi seorang sufi, semua gerak dan
diam secara lahir maupun batin berasal dari penerangan cahaya wahyu kenabian
dan selain cahaya wahyu kenabian tidak terdapat cahaya lain di permukaan bumi
ini, yang mana dari sana lah ilham dari Allah dapat diterima.[7]
Sikap al-Ghazali yang
seperti ini terhadap tasawuf dan seorang sufi terus tidak berubah, hingga akhir
hayatnya dan ini adalah salah satu faktor terpenting bangunan pemikiran etikanya.[8]
Karya-karya Al-Ghazali tentang etika.
Karya pertama Al-Ghazali yang berbicara tentang etika adalah Maqâshid
al-Falâsifah dan Tahâfut al-Falâsifah . Buku Maqâshid al-Falâsifah ditulis antara tahun 484 H/1091 M dan 486 H/1094 M selama periode kurang dari dua
tahun, ketika dia mengkaji filsafat pada waktu senggangnya. Karya Al-Ghazali
yang terpenting mengenai teori etikanya yang dijelaskannya secara terperinci
dan sistematis, adalah karya monumentalnya, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn dan Mîzan al-‘Amal.[9]Dua
buku inilah menjadi fokus perhatian penulis dalam menggali teori etika al-Ghazali
beserta penerapannya.
Latar belakang pembentukan etika al-Ghazali.
Sepanjang periode sufi kehidupan al-Ghazali, yang berlangsung sejak
keberangkatannya dari Baghdad sampai meninggalnya pada 18 desember 1111 M, ia
kabarnya telah mengarang karya-karya tentang etika, yang sebagian besar diakui
oleh para ahli, otentik seluruhnya. Ciri-ciri teori etika yang dipaparkan dalam
karya-karyanya pada periode ini ada kaitannya dengan latar belakang
kehidupannya ketika ia menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Penelaahannya
yang mendalam mengenai karya-karya para sufi, menimbulkan dalam hatinya suatu
kecemasan hebat akan hukuman di hari akhirat, yang membawanya kepada kehidupan
menyepi dengan amal ibadah dan riyâdhah.
Jika dilihat dari segi praktis, masalah yang dihadapinya semasa
periode sufi ialah mempersiapkan dirinya untuk menghindar dari hukuman Allah
dan guna mencapai kebahagiaan di akhirat kelak atau lebih tepatnya untuk
mencegah diabaikan oleh Allah dan demi mendapatkan keakraban dengan-Nya. Dari
segi intelektual adalah untuk menyampaikan pemikiran dan pengalaman kesufiannya
kepada orang lain sehingga mereka pun mungkin mencapai tujuan yang sama,
sebagaimana yang telah ia capai. Jadi, perhatian utama hidup dan pemikirannya
semasa periode sufi ialah untuk memperoleh kehidupan akhirat yang baik.
Pertimbangan ini menentukan beragam aspek teori etikanya, sehingga teori
etikanya bersifat religius dan sufistik.
Teori etika al-Ghazali dapat juga dikatakan bercorak teleologis
(aliran filsafat yang mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini ada
tujuannya) sebab, ia menilai amal dengan mengacu kepada tujuannya.[10]
Dikarenakan etika al-Ghazali mengajarkan bahwa manusia punya tujuan yang agung,
yaitu kebahagiaan di akhirat. Yakni bahwa amal itu baik, kalau ia menghasilkan
pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan tersebut, dan dikatakan
amal itu buruk kalau jiwa terhalangi untuk mencapai tujuan itu.[11]
Sumber-sumber teori etika al-Ghazali
Sumber pokok teori etika al-Ghazali adalah tulisan-tulisan para
sufi sebelum dia, yang ia telaah sendiri, sebelum ia menjadi penganut tasawuf
sejati, disebutnya sumber itu seperti Qût al-Qulûb oleh al-Makki,
karya-karya al-Muhâsibi, berbagai ucapan tersebar (mutafarriqât) oleh
al-Junayd, asy-Sybli, Abu Yazid al-Busthami dan risalah-risalah sufi terkemuka
yang lain. Semua buku ini pada dasarnya berurusan dengan kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia di hari akhirat.[12]
Paham-paham mereka merupakan dasar bagi pemikiran akhlak al-Ghazali
dan kadang-kala ajaran-ajaran itu langsung dipinjamnya guna membantu
menyampaikan maksudnya sendiri dalam karya-karyanya. Namun menurut al-Ghazali,
kebanyakan teori etika mereka ini belum lengkap pembahasannya dan kurang bagus penjelasannya. Sebab itu, ia
berusaha membangun suatu sistem etika yang lengkap, bebas dari kekurangan tapi
menuruti garis yang dianjurkan dalam karya-karya para sufi pendahulunya. Ciri
khas karya etika terbesarnya, yakni Ihya ‘Ulûm al-Dîn, dilukiskan
sebagai berikut:
Memang benar, bahwa orang-orang terdahulu telah menulis berbagai
buku mengenai hal-hal ini, tapi buku ini berbeda dengan semua itu di dalam lima
perkara. Pertama, dengan menjelaskan apa yang mereka biarkan kabur dan
menerangkan apa yang mereka bicarakan sepintas lalu. Kedua, dengan menyusun apa
yang mereka biarkan tidak teratur dan menata kembali apa-apa masih yang
berserakan. Ketiga, dengan memaparkan apa yang mereka teliti dengan seksama.
Keempat, dengan menghapus apa yang mereka ulangi dan memeriksa kembali apa yang
mereka catat. Kelima, dengan memperjelas hal-hal yang masih kabur, yang sampai
kini tak dapat dipahami dan belum pernah dibahas dalam karya mana pun, karena
meski setiap orang telah mengikuti suatu aliran paham, tak ada alasan untuk
tidak memperbolehkan seseorang bebas melangkah dan membuka rahasia sesuatu yang
belum diketahui.[13]
Al-Ghazali dalam menulis karya-karya etikanya banyak mengambil
bahan dari kitab-kitab suci dan hadis nabi Muhammad saw. Kitab-kitab suci
seperti; Al-Qur’an, Injil, Taurat, Zabur dan suhuf Ibrahim. Dari semua kitab
suci tersebut, al-Qur’an yang paling banyak dia ambil. Tentang pengetahuan
perihal hadis, dia dapatkan dari karya-karya sufi, khususnya Qût al-Qulûb
al-Makki, yang memuat banyak sekali hadis nabi.
Al-Ghazali juga menurunkan paham-paham etikanya dari karya-karya
filsuf tentang etika. Pada zamannya,
karya-karya ini terdapat dalam dua macam. Pertama ialah; terjemahan dari
karya-karya filsuf Yunani tentang filsafat moral, seperti, Aristoteles dan
Galineus. Kedua, yaitu buku-buku para filsuf muslim dan beberapa penerjemah
Kristen, seperti Yahya ibn ‘Adi dan Qustha ibn Luqa. Perihal karya-karya etika
para filsuf muslim, kebanyakannya sudah ia telaah. Ia sendiri mengatakan, bahwa
buku-buku al-Farabi dan Ibn Sina sudah dikajinya secara mendalam.[14]
Tujuan etika al-Ghazali
Sisi paling menonjol dari
tujuan pemikiran etika al-Ghazali terpusat pada kebahagiaan nasib “individu”
di akhirat kelak . Tujuan etika al-Ghazali ini begitu jelas diterangkannya
dalam bukunya Mîzân al-‘Amal[15]
Oleh karena itu, al-Ghazali belum menjelaskan bangunan teori etikanya dari
pendekatan sosiologi, psikologi ataupun antropologi dan sejenisnya. Kalaupun
terdapat pendekatan ataupun pemahaman yang mirip seperti itu, hal itu bukan
merupakan komitmen yang menjadi perhatiannya sejak awal.[16]
Teori Etika
al-Ghazali
Pengertian
Istilah khulûq (baca; akhlak/etika) sudah ada, sebelum al-Ghazali
berbicara tentang etika dalam karya-karyanya. Dalam sebuah hadis Rasulullah
pernah bersabda “Sesungguhnya aku diutus
untuk menyempurnakan budi pekerti (akhlak) yang baik”. Ibnu Miskawayh juga
telah menulis buku khusus yang berbicara tentang etika, yang berjudul Tahdzîb
al-Akhlâq. Buku yang ditulis Ibnu Miskawayh ini, penjelasannya hampir
menyerupai buku-buku ilmu etika atau filsafat moral yang ditulis oleh para
filsuf Yunani, yang selanjutnya diikuti oleh beberapa filsuf muslim.[17]
Adapun akhlak atau etika menurut pandangan al-Ghazali, bukanlah
pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan buruk, bukan pula kemampuan (qudrah)
untuk melakukan sesuatu yang baik dan buruk, bukan pula hanya sekadar perbuatan
(fi’il) yang baik dan buruk, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap
atau stabil. Pengertian Akhlak mengenai menurut al-Ghazali ini terdapat
dalam Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, yang berbunyi:
الخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الافعال بسهولة و يسر من غير حاجة الى
فكر و روية فان كانت الهيئة بحيث تصدر عنها الافعال الجميلة المحمودة عقلا وشرعا
سميت تلك الهيئة خلقا حسنا و ان كان الصادر عنها الافعال القبيحة سميت الهيئة التي
هي المصدر خلقا سيئا
“Akhlak berarti suatu kemapanan keadaan jiwa yang
menghasilkan perbuatan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja.
Jika keadaan jiwa itu sudah menjadi mapan atau mantap, sehingga menghasilkan
perbuatan-perbuatan yang baik, yaitu perbutan yang terpuji menurut akal dan
syariat – maka ini disebut akhlak yang baik. Jika perbuatan-perbuatan yang
tercela, yang muncul dari keadaan (yang
sudah mapan) itu, maka itu dinamakan akhlak yang buruk.”[18]
Dari definisi diatas jelas terbaca, bahwa ada dua keadaan jiwa yang
harus terpenuhi sehingga ia dapat disebut akhlak/etika. Keadaan jiwa yang
pertama adalah stabilitas atau kemapanan. Misalnya, seseorang yang berakhlak
pemurah atau dermawan, ialah orang yang kemauannya untuk mendermakan kekayaannya
telah menjadi mapan dan relatif permanen dalam jiwanya. Seorang yang jarang
berderma, yang kalaupun melakukannya, hanya karena adanya faktor-faktor luar,
tidak dapat dikatakan sebagai orang yang berakhlak pemurah atau dermawan.
Syarat kedua ialah timbulnya tindakan-tindakan yang mudah dan spontan dari
suasana jiwa yang telah mapan. Karena itu, seseorang pemurah ialah orang yang
mendermakan hartanya dengan mudah dan tanpa paksaan.
Apa yang dimaksud dengan akhlak yang baik ?
Bagi al-Ghazali suatu akhlak baik adalah yang berada antara dua
kutub ekstrem, yakni yang berada di pertengahan.
Kemudian timbullah pertanyaan, bagaimana menentukan sifat suatu perbuatan
dikatakan baik. Menurut al-Ghazali sifat pertengahan ialah yang telah ditetapkan oleh akal dan syariat.
Al- Ghazali berpendapat bahwa alasan pokok untuk memperhatikan jalan
pertengahan itu ialah; fakta bahwa manusia hanya bisa
mencapai kebahagiaan di akhirat, jika waktu meninggal jiwanya memiliki sifat
malaikat, karena substansinya adalah identik dengan zat malaikat dan alam
asalnya ialah alam malaikat. Hanya
jiwa yang bebas dari ikatan inilah yang diampuni, karena Al-Qur’an berkata,
bahwa tak seorang pun diampuni “kecuali dia yang datang kepada Allah dengan
jiwa yang bebas.” Jiwa hanya dapat dibebaskan dengan mempertahankan jalan
pertengahan. Al-Ghazali menjelaskan ini dengan contoh-contoh, misalnya orang
yang berwatak kikir menyibukkan dirinya dengan menyimpan harta dan orang yang berwatak
boros sibuk dengan selalu membelanjakan harta; dalam mencapaikan kemerdekan
dari ikatan ini, orang harus bebas dari kedua sifat membelanjakan dan menyimpan
harta dunia tersebut. Tapi karena hal ini secara manusiawi tidaklah mungkin,
dia harus mencapai apa yang terdekat dan hampir serupa dengan itu, dan ini
tercapai dengan menjaga sikap pertengahan dalam berbelanja. Jiwa seseorang yang
selalu berada di jalan pertengahan dalam mengeluarkan harta boleh dikatakan
bebas dari kedua sifat cinta harta tersebut, persis seperti air suam-suam kuku
yang tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin.
Jika dia selalu bersikap pertengahan dalam semua urusan, jiwanya
tak akan punya kaitan pada benda duniawi mana pun. Kata al-Ghazali, dengan
alasan inilah maka syariat memerintahkan kondisi jiwa pertengahan ini. Dia juga
berpendapat, bahwa tidak mungkin orang senantiasa selalu berada di jalan
pertengahan yang benar. Oleh sebab itu, tidak seorangpun akan terhindar dari
penderitaan di akhirat. Dia memberi penjelasan dengan menyatakan, bahwa jalan pertengahan
itu ialah jalan lurus yang diperintahkan al-Qur’an untuk ditaati oleh manusia,
tapi jalan itu, yakni yang pertengahan,
sukar sekali diikuti; jadi manusia dapat mendekatinya tetapi tidak dapat
mencapainya.
Mungkinkah akhlak diubah ?
Sebelum menjelaskan metode perbaikan akhlak, al-Ghazali dalam
kitabnya Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn lebih dahulu menegaskan pandangannya bahwa
perubahan akhlak itu adalah mungkin sepanjang ia melalui usaha dan latihan
moral yang sesuai. Al-Ghazali menyangkal pandangan beberapa pendahulunya yang
menafikan kemungkinan perubahan sifat pembawaan manusia. Menurut al-Ghazali,
fungsi agama Islam yang utama, ialah membimbing manusia memperbagus akhlaknya.
Jika akhlak tidak dapat diubah. Maka semua perintah, teguran, anjuran dan
ancaman agama akan tidak berguna sama sekali. Rasulullah Saw telah bersabda : Perbaguslah akhlak
kalian”. Jika perubahan akhlak seorang manusia tidak mungkin, maka tidak
mungkin umat Islam diperintahkan untuk memperbagus akhlaknya, baik akhlak individu
secara khusus atau akhlak masyarakat secara lebih luas.
Kemudian, hampir setiap orang mengakui, bahwa perubahan sifat pada
hewan saja mungkin. Binatang seperti
singa umpamanya, sifatnya bisa diubah dari buas menjadi jinak. Jika ini
mungkin, apalagi perbaikan akhlak manusia yang dikaruniai akal oleh Allah.
Al-Ghazali menyatakan bahwa perubahan akhlak tidak menuntut agar
pembawaan hawa nafsu dan amarah yang terdapat dalam diri setiap manusia
dihilangkan sama sekali atau ditindas, karena hal ini tidak mungkin selama
manusia masih hidup. Perubahan hanya menghendaki pengendalian hawa nafsu dan
amarah kepada keaadaan pertengahan.
Dan pengalaman hidup telah membuktikan, bahwa hal itu mungkin terjadi dengan
jalan latihan dan pendidikan moral. Akan tetapi kecepatan perubahan itu berbeda
atau tidak sama pada setiap orang. Al-Ghazali menjelaskan perbedaan ini dengan
membagi manusia pada empat macam menurut
cepat-lambatnya akhlak seseorang dapat diubah.[19]
Pertama, terdiri dari orang-orang yang lengah, yang belum dapat membedakan antara yang haq dan
yang bathil dan antara sesuatu yang baik dan yang buruk. Orang-orang macam ini
masih terbebas dari kehendak untuk mengikuti hawa nafsu. Nafsu jasmani mereka
tidak terlalu kuat, karena mereka tidak memperturutkannya. Maka akhlak
seseorang yang semacam ini, dapat menjadi baik dalam waktu singkat jika dididik
dengan benar.Orang semacam ini hanya membutuhkan kepada guru pembimbing dan hal-hal yang mendorong dirinya kepada
kebenaran dan kebaikan
Kedua, ialah sesorang yang tahu tentang keburukan, tapi tidak menjauhkan
diri darinya, sebab dia merasa perbuatan burukya itu nikmat untuk dilakukan.
Perbaikan akhlak seseorang yang seperti ini, lebih sukar daripada yang
ditingkat pertama, tetapi masih mungkin diperbaiki dengan upaya yang giat.
Ketiga, mereka yang percaya bahwa perilaku jahat yang mereka perbuat adalah “benar dan baik,” dan dengan demikian
mereka menuruti jalan yang tercela itu dengan sepenuh hati. Akhlak seseorang
yang tergolong macam ini hampir tidak mungkin dirubah.
Keempat, ialah mereka yang selain berbuat buruk, juga “mengganggap baik” dan merasa bangga dengan
perbuatan buruk yang mereka kerjakan. Mereka ini yang paling sukar akhlaknya
untuk diubah menjadi lebih baik.
Orang-orang pada tingkatan pertama disebut oleh al-Aghazali sebagai
orang-orang bodoh (Jâhil) yang ditingkat kedua, bodoh dan tersesat (Dhâll)
yang di tingkat ketiga bodoh, tersesat dan jahat (Fâsiq) dan di tingkat
keempat bodoh, tersesat jahat dan bandel (Syarîr)[20]
[1] Muhammad As-Sayyid Al-Jalayand, al-Imam
al-Ghazali (450-505 H) dirâsât wa buhûs, (Kairo: Dâr al-Hâni 2006) hlm d.
[2] Riyâdhoh:
melatih diri, yakni bersusah payah melakukan amal perbuatan untuk yang menjurus kepada akhlak yang baik,
sehingga menjadi suatu kebiasaan.Lihat, Al-Jurjâni Al-Ta’rifât (Kairo: Dâru al-Fadhîlah, Cet 2, 2012) hlm.98.
[3] Kasyf: ketersingkapan
makna-makna gaib dan hakikat-hakikat sesuatu, wujûd(an) wa syuhûd(an).
Lihat, Al-Jurjâni Al-Ta’rifât (Kairo: Dâru al-Fadhîlah, Cet 2, 2012) hlm. 154.
[4] Muhammad Abul Quasem, The Ethic of
al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam
(Kuala Lumpur, 1975) hlm. 4.
[5] Ibid.hlm. 7.
[6] Ibid, hlm.9.
[7] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidz min
al-Dholâl, (Kairo: Maktabah al-îmân,, 2004) hlm 299.
[8] Muhammad Abul Quasem, The Ethic of
al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam ( Kuala Lumpur, 1975) hlm. 9
[9] Muhammad Amin Abdullah, The Idea of Universality of
Ethical Norms in Al-Ghazali and Immanuel Kant ( Ankara, 1992) hlm 14-15.
[10] Muhammad Abul Quasem, The
Ethic of al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam( Kuala Lumpur, 1975) hlm.
13-14.
[11] Muhammad Muslih, Pengantar
Filsafat,( Ponorogo, Darussalam Uniersty Press, 2008) hlm. 75
[12] Ibid. hlm. 19.
[13] Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ
‘Ulûm al-Dîn, (Alepo: Dâru al-Wa’y, Cet 1, 1998) hlm 20.
[14] Muhammad Abul Quasem, The Ethic of
al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Kuala Lumpur, 1975) hlm. 20-21.
[15] Abu Hamid al-Ghazali, Mîzân al-‘Amal,(Beirut;al-Maktabah
al-‘Ashriyyah,Cet 1,2012) hlm 87
[16] Muhammad Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical Norms in
Al-Ghazali and Immanuel Kant (
Ankara, 1992) hlm 261-262.
[17] Zaki Mubarok, Al-Akhlâk ‘Inda
Al-Ghazâli, hlm159.
[18] Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm
al-Dîn, (Alepo: Dâru al-Wa’y, Cet 1, 1998) hlm 84
[19] Abu Hamid al-Ghazali, Mîzân
al-‘Amal, (Beirut;al-Maktabah al-‘Ashriyyah,Cet 1,2012) hlm 56
[20] Ibid, hlm 57
Komentar
Posting Komentar