Manusia dan ilmu
.Dalam kisah penciptaan Nabi Adam,
ketika Allah menyampaikan niat-Nya untuk menjadikan manusia sebagai
khalifah-Nya di dunia, ada semacam keberatan dari para malaikat yang merasa
aneh akan rencana Allah, karena mereka merasa lebih baik dan lebih saleh
dibandingkan dengan manusia ketika itu. “Bukanlah kami,” kata mereka (para
malaikat), “lebih sering bertasbih dan menyucikan Engkau, sedangkan manusia
adalah makhluk yang suka melakukan kerusakan dan gemar menumpahkan darah ?” (QS.
2:30). Namun, kemudian Allah mengajari nabi Adam “nama-nama” sebagai cikal
bakal ilmu pengetahuan, dan dalam kisah berikutnya, ternyata pengetahuan yang
diajarkan langsung oleh Allah kepada manusia, melebihi pengetahuan para
malaikat. Dengan demikian, ilmu pengetahuan merupakan salah satu keunggulan
yang Allah berikan kepada manusia, yang akan menjadi “wakil-Nya” di bumi. Dari
sini kita tahu, bahwa Allah lah guru pertama manusia, karena dalam al-Qur’an
disebutkan “Dialah yang mengajarkan nama-nama kepada Nabi Adam” (QS.
2:31).
Dengan diajarkannya seluruh
nama-nama kepada Nabi Adam, maka kita, -manusia hari ini- sebagai keturunannya,
secara genetik mewarisi potensi utama untuk bisa memahami berbagai ilmu, baik
yang berhubungan dengan ilmu-ilmu agama, maupun ilmu-ilmu rasional, yang
keduannya sangat diperlukan untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Setelah Nabi Adam turun ke bumi dari surga, berkembang biaklah bani
Adam memenuhi permukaan bumi ini. Namun siapakah yang mengajari manusia setelah
Nabi Adam tiada ? Lagi-lagi Allah berfirman, bahwa Dia lah yang mengajari manusia
ilmu pengetahuan. Allah berfirman “Bacalah, Dan Tuhanmu yang mulia, yang
mengajari manusia dengan pena, mengajarkan manusia apa-apa yang tidak ia
(manusia) ketahui (QS. 96:1-5)
Kalau memang Allah adalah guru
yang mengajari manusia segala apa yang tidak manusia ketahui, bagaimana kita
memahami hal ini, sedangkan kita tidak pernah melihat-Nya ? Memang cara Tuhan
mengajari manusia tidak sama dengan cara manusia mengajar sesamanya. Allah
mengajar manusia dengan cara yang “unik,” yang mana melibatkan beberapa tahapan
pengajaran.
Pertama, dengan cara menciptakan alat-alat
pengetahuan, yaitu pendengaran (sam’), penglihatan (abshâr) dan hati (af’idah).
Di dalam al-Qur’an dinyatakan “Dan Allah telah mengeluarkan kalian dari rahim
ibumu dalam keadaan tidak tahu sesuatu apa pun. Maka diciptakanlah bagimu
pendengaran, penglihatan dan hati. Tapi sedikit saja kalian bersyukur (QS.
16:78). Dengan demikian, kita tahu bahwa tahap pertama pengajaran Tuhan kepada
manusia adalah dengan menciptakan alat-alat pengetahuan, yang tanpanya takkan
ada jalan bagi manusia untuk mengetahui apa pun. Dengan penciptaan pendengaran,
penglihatan dan pencerapan hati, sesungguhnya manusia telah diberi potensi yang
besar untuk meraih ilmu pengetahuan. Dengan daya-daya tersebut, manusia telah
diperlengkapi Tuhan dengan instrumen yang siap dipergunakan untuk memperoleh
ilmu-ilmu.
Kedua, pengajaran Tuhan pada manusia adalah
menunjukkan kepada manusia bagaimana melakukan pengamatan ilmiah (observasi)
yang benar. Setelah manusia telah diperlengkapi oleh Allah dengan alat-alat
ilmu pengetahuan. Namun, berulang-ulang Allah berfirman dalam al-Qur’an, bahwa
banyak di antara manusia yang memiliki mata, tapi tidak melihat, memiliki
telinga tapi tidak mendengar. memiliki akal dan hati tapi tidak berpikir atau
merenung. Kemudian kita bertanya-tanya
apa maksudnya “manusia punya mata, tapi tidak melihat ?” bukankah setiap saat kita
melihat sesuatu ? Kalau kita bicara pengamatan ilmiah, melihat sesuatu begitu
saja sebuah objek, tanpa ingin terus mengetahui bagaimana objek tersebut
diciptakan, belumlah dapat secara ilmiah dipandang sebagai “mengamati.” Maka,
disinilah Allah mengajarkan tahap kedua perolehan ilmu, yaitu dengan melakukan observasi
yang benar dan ilmiah. Allah berfirman, “Tidakkah mereka perhatikan unta,
bagaimana ia diciptakan, langit bagaimana ia ditinggikan dan gunung-gunung
bagaimana ia dipancangkan dan bumi bagaimana ia dihamparkan ? (QS. 88:17). Dengan
ayat ini, Allah mengajarkan kita bahwa “melihat” secara ilmiah, atau melakukan
observasi itu adalah “memperhatikan sebuah objek hingga tahu bagaimana objek
tersebut dibangun dan diciptakan.” Misalnya, ketika kita melihat unta, atau
hewan apa pun, maka kita diminta untuk terus meneliti sehingga tahu bagaimana
ia diciptakan. Jadi, tidak hanya melihat begitu saja, tetapi mencari tahu
bagaimana dan mengapa makhluk-makhluk tersebut diciptakan dan dibentuk secara
detail.
Ketiga, pengajaran Tuhan kepada manusia adalah
“mendorong manusia untuk melakukan penalaran rasional” penalaran rasional
adalah proses pengambilan kesimpulan tentang objek yang belum diketahui (al-majhûl)
dari sesuatu yang telah diketahui (al-ma’lûm) yang dilakukan manusia melalui
akal. Akal ini dianugerahkan Tuhan kepadanya, agar manusia melakukan perenungan
(tadabbur) atas seluruh fenomena alam di dunia ini. Dari situ, kita diminta
untuk terus berpikir dan bertanya, apakah semua fenomena alam ini, hanya sebuah
kebetulan, ataukah disana ada “pelaku” yang bertanggung jawab atas segala
fenomena tersebut ? Misalnya dalam al-Qur’an disebutkan “Ketika sumurmu
kering di waktu pagi, siapakah membuatnya melimpah ? (QS. 67:30). Siapakah
yang menurunkan air dari langit sehingga menghidupkan kembali bumi, yang telah
mati ? (QS. 29:63) Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ? (QS.
27.60) dan masih banyak lagi ayat yang serupa dengan itu, yang intinya
mengajak kita untuk berpikir, merenung dan melakukan penalaran. Karena, bagi
mereka yang memiliki akal dan berpikir, di dalam fenomena-fenomena alam ini,
terdapat tanda-tanda kebesaran Allah sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya
penciptaan langit dan bumi dan bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
kebesaran Allah bagi mereka yang berpikir (QS.2 :164)
Setelah semua proses penalaran
dilakukan, kemudian Allah memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan al-Qur’an di atas. Misalnya, Allah berfirman “Allah lah Tuhanmu
yang telah menciptakan langit dan bumi dalam 6 hari” (QS. 11:7) atau “Dan
salah satu tanda kebesaran Allah adalah bumi yang telah mati (kering) maka (dengan
air hujan) Kami hidupkan kembali bumi tersebut, dan kami keluarkan dari dalam tanah
berbgai macam biji-bijian, kami ciptakan di dalamnya kebun-kebun anggur dan kurma,
dan kami pancarkan dari padanya mata air-mata air yang jernih.” (QS. 36:34)
Dengan melakukan penalaran yang benar, melalui akalnya, manusia akan
menarik kesimpulan dari fenomena-fenomena alam yang dia saksikan, akan adanya
Allah dan kebesaran-Nya, yang sebelumnya belum ia ketahui atau yakini.
Keempat, atau terakhir dari pengajaran Allah kepada
manusia, adalah memberikan pengetahuan langsung (atau melalui malaikat jibril)
kepada hamba-hamba-Nya yang Dia pilih, berupa wahyu kalau mereka adalah
para Nabi dan Rasul, atau ilhâm, kalau mereka para kekasih-Nya (awliyâ’
Allah). Pengajaran langsung dari Allah sangat dimungkinkan, karena ia telah
menganugerahkan hati atau intuisi sebagai salah satu instrumen ilmu untuk
manusia. karena Allah memberikan petunjuk kepada siapa saja yang ia kehendaki.
Petunujuk ini tidak dapat kita peroleh tanpa kehendak-Nya, yang patut kita
perbuat hanyalah melakukan persiapan (isti’dâd) dengan cara membersihkan diri
atau jiwa kita, dari kotoran yang muncul dari hawa nafsu. Namun, petunjuk Allah
ini, merupakan hak istimewa-Nya. Seperti dinyatakan dalam al-Qur’an “Sesungguhnya
Allah akan memberi petunjuk kepada yang dikehendaki-Nya, dan menyesatkan siapa
saja yang dikehendaki-Nya.”(QS. 14:4)
Dari uraian di atas, dapatlah
kita simpulkan bahwa potensi ilmu pengetahuan manusia amatlah luar biasa
besarnya, karena Tuhan telah menganugerahkan kepada manusia tiga sumber ilmu,
yaitu panca indra, akal dan hati. Dengan panca indra dan melalui observasi yang
benar kita sebagai manusia berkemungkinan untuk mengetahui berbagai informasi
tentang alam fisik yang sangat kita perlukan di dunia. Seperti telah terbukti
dalam sejarah, para ilmuwan dan filsuf (muslim maupun non-muslim) telah
berhasil menciptakan ilmu kealaman, dengan berbagai cabangnya seperti
astrofisika, meteorologi, fisika, kimia, biologi, mineralogi, botani, anatomi
dan masih banyak lagi. Demikian juga dengan akal, yang merupakan aspek
intelektual dari diri manusia, ia telah mampu menciptakan ilmu matematika,,
aritmatika, geometri, astronomi, musik, dan lain sebagainya. Terakhir melalui intuisi
atau hati, yang merupakan aspek batin dan intuitif dari dirinya, manusia mampu
mengetahui bukan hanya makna atau hakikat dari apa yang kita saksikan di alam
fisik, tetapi juga berbagai alam dan makhluk non-fisik, spiritual dan
metafisik. Dari sini muncul lah ilmu metafisik dengan cabang-cabangnya seperti ontologi,
teologi, kosmologi dan lain-lain. Penulis berasumi, kalau saja manusia berkemauan
dan mampu mengaktualkan semua potensi keilmuannya dengan baik, dengan izin
Allah, maka ia mungkin saja bisa menjadi saintis, filsuf dan sufi sekaligus,
dan memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai ilmu-ilmu agama dan
rasional.
Banjarmasin, 24 Oktober 2017
Komentar
Posting Komentar