Tinjauan Historis Mazhab-mazhab Fikih



Tinjauan Historis Mazhab-mazhab Fikih

Muqaddimah

Dalam beragama Islam, seorang muslim yang telah memenuhi kriteria sebagai mukallaf, wajib baginya menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, semampu mungkin (at-Taghâbun/64:16), sebagaimana yang telah ditetapkan dalam teks-teks agama (Al-Qur’an, Sunnah dan lain-lain). Seorang muslim dalam rangka menjalankan segala aturan Allah dalam hidupnya di dunia, tentunya memerlukan ilmu yang dapat mengantarkannya untuk mencapai apa yang dikehendaki oleh-Nya. Ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu fikih.

Barangkali, ada sebagian dari kita yang bertanya-tanya, darimanakah sumber ilmu fikih yang diamalkan dan beredar di tengah-tengah masyarakat muslim sekarang ? Mengapa terdapat perbedaan pendapat diantara para imam mazhab fikih yang empat ? dan bagaimanakah sejarahnya hingga sampai kepada kita ? Dalam tulisan ini, penulis mencoba memaparkan tinjauan sejarah secara singkat, tentang asal-muasal kemunculan mazhab-mazhab fikih yang empat dalam Islam.

At-Tafaqquh fî ad-Dîn pada masa kenabian

Umat muslim diperintahkan oleh Allah untuk taat dan patuh dalam beragama. Sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya adalah menaati rasul-Nya. Dalam al-Qur’an Allah Swt secara eksplisit memerintahkan umat muslim untuk untuk menaati Rasulullah Saw secara total, seperti disebutkan dalam surah: an-Nisâ/4:64, Ali ‘Imran/3:32, an-Nisâ/4:59, an-Nisa/4:65 dan al-Hasyr/59:7. Kemudian Allah memerintahkan rasul-Nya untuk mengajarkan umatnya cara beragama dan agama itu sendiri, yang semua ajaran itu terkandung dalam al-Kitâb (al-Qur’an) dan al-Hikmah (al-Baqarah/2:129). Mayoritas Ulama tafsir, menafsirkann kata al-Hikmah,pada ayat tersebut, sebagai: al-fiqh dalam Syariat Islam. Adapun makna dari al-fiqh itu sendiri adalah: al-fahm (pemahaman). Kemudian makna (al-fahm) untuk al-fiqh ini dijadikan sebuah pengertian khusus, yakni sebagai: Hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan permasalahan-permasalahan cabang dalam Islam.

Menurut Prof. Dr Muhammad ‘Abdu al-Halîm an-Nu’mânî dalam bukunya at-Tarbiyah al-Fiqhiyyah fî khoir al-Qurûn. Beliau menjelaskan gambaran pengajaran agama (dalam hal ini, fikih) oleh Nabi kepada para sahabat, beserta cara-cara penggalian hukum pada masa kenabian, yang melewati empat fase. Fase Pertama: at-Targhîb:. Nabi menanamkan kecintaan belajar dan memperdalam ilmu agama dalam diri para sahabat, hal ini disebutkan dalam wahyu yang pertama kali turun, dalam surah al-‘Alaq/96:1. Hal ini dikuatkan dengan sabda Nabi yakni: Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik, maka Allah akan menjadikannya faqih (yang paham) dalam (Ilmu) Agama (H.R Bukhori:71). Fase Kedua: at-Ta’lîm wa at-Tafqîh: Pengajaran agama secara mendalam sejatinya, telah dimulai sejak masa awal penyebaran agama Islam, di sebuah tempat yang bernama Dâr al-Arqom, Makkah. Pada fase ini Nabi mengajarkan dan memahamkan para sahabat semua ajaran agama dari setiap wahyu yang turun kepadanya. Fase Ketiga: at-Tamrîn wa at-Tahqîq: Di fase ini, Nabi mendemontrasikan para sahabat tata cara penggalian hukum suatu masalah dengan masalah lain yang mempunyai kemiripan hukum dengannya, kemudian melakukan qiyâs  atasnya.  Pada kesempatan lain, Nabi juga mengajarkan cara penggalian hukum-hukum dari dalil-dalil yang sudah ada, untuk menentukan hukum setiap permasalahan agama yang dalilnya belum ada ketika itu. Fase Keempat: at-Tathbîq al-‘Amaliy: Nabi melatih beberapa sahabat untuk ber-ijtihâd dalam beberapa permasalahan agama ketika itu, namun masih di bawah bimbingan dan arahan beliau. Metode ini Nabi gunakan agar beliau mengetahui sejauh mana kapabilitas dan keahlian para sahabat (yang dipilih), dalam ber-ijtihâd. Dilaporkan dalam suatu riwayat, bahwa sudah ada enam sahabat yang ber-ijtihâd sejak masa kenabian, mereka adalah: ‘Ali ibn abi Thôlib, Abu Musa al-Asy’ary, Ubay ibn Ka’ab, ‘Umar ibn Khottôb, Zaid ibn Tsâbit, dan ‘Abdullah ibn Mas’ûd.

Akar perbedaan pendapat.

Sebagaimana keahlian dibutuhkan untuk setiap jenis disiplin keilmuan, demikian pula dibutuhkan keahlian untuk dapat mengakses dan menentukan hukum-hukum dalam syariat Islam. Aktifitas dalam mengoperasikan keahlian ini, oleh para ulama disebut sebagai ijtihâd, dan pelakunya disebut sebagai mujtahid. Karena tidak setiap muslim dapat mencapai kualifikasi ijtihâd. Maka jalan yang harus ditempuh seorang muslim (yang tidak dapat mencapai kualifikasi Ijtihâd) sebagai mukallaf adalah taqlîd. Taqlîd adalah keputusan dengan  sadar untuk mengikuti cara pandang dan hasil Ijtihâd seorang muslim yang sudah mencapai level mujtahid, yakni dalam agama Islam dikenal dengan sebutan  madzhab. Jadi, ber-madzhab dalam pandangan para Ulama Ahl as-Sunnah adalah: Mengikatkan diri dengan satu madzhab tertentu (Akidah, Fikih atau Akhlak) dengan penuh sadar, demi komitmen untuk menjalankan ajaran-ajaran agama Islam secara penuh (kaffâh).

Sebelum munculnya mazhab-mazhab fikih yang empat, dalam sejarah Islam sudah dikenal dua mazhab yang merupakan cikal bakal dari munculnya empat mazhab fikih tersebut, yaitu mazhab ahl al-hadits di Hijaz dan ahl ar-ra’y di Irak. Jika ditelusuri akar kedua mazhab ini, ia sejatinya sudah ada sejak zaman Rasululllah Saw. Hal ini bisa kita lihat pada hadis perang (Maghâzy) tentang bani Quraizhah. Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah Saw bersabda : Lâ Yusholliyanna ahadun al-‘Ashro illâ fî banî Qurôizhoh.(H.R Bukhori: 3893). Dalam hadis tersebut digambarkan bahwa, Rasulullah Saw memerintahkan pasukan muslimin untuk tidak melaksanakan shalat Ashar, kecuali setelah tiba di wilayah bani Quraizhah. Namun yang terjadi ketika itu, waktu shalat Ashar telah tiba saat mereka masih dalam perjalanan, menuju wilayah bani Quraizhah.

Hal ini berdampak pada terjadinya perbedaan pendapat antara para sahabat dalam melaksanakan perintah Rasulullah Saw. Sebagian sahabat memahami perkataan Rasulullah Saw secara tersirat (Implisit), dan sebagian yang lain secara tersurat (Eksplisit). Akhirnya, sebagian sahabat melaksanakan shalat Ashar ditengah-tengah perjalanan menuju wilayah bani Quraizhah, dan sebagian yang lain, enggan untuk melaksanakannnya kecuali setelah tiba di wilayah bani Quraizhah. Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah Saw, beliau tidak menyalahkan salah satu dari dua kelompok tersebut.

Hadis diatas menunjukkan, bahwa terdapat perbedaan cara dalam memahami perkataan Rasulullah Saw diantara para sahabat. Sebagian dari para sahabat memahami perkataan Rasulullah Saw dengan melihat ‘illah dari maksud perkataannya. Mereka berpandangan bahwa maksud perintah Rasulullah Saw pada hadis yang telah disebutkan diatas, adalah: supaya para sahabat “bergegas” menuju bani Quraizhah sehingga dapat melaksanakan shalat Ashar disana. Sedangkan sebagian yang lain, tetap berpegang teguh pada makna zhâhir dari perkataan Rasulullah Saw, yakni: mereka disuruh Rasulullah Saw melaksanakan shalat Ashar, hanya di wilayah bani Quraizhah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa: perbedaan cara memahami dalil-dalil agama (Al-Qur’an dan sunnah), cara penggalian hukum beserta hasilnya dalam syariat Islam sendiri, sudah ada sejak zaman kenabian.

Kemunculan para imam mazhab fikih yang empat

Sahabat yang dikenal sebagai bapak ahl al-hadits adalah ‘Abdullah ibn ‘Umar. Setelah kepergian Rasulullah Saw, Abdullah Ibn ‘Umar bermukim di madinah selama 62 tahun untuk mengajarkan agama Islam kepada para murid-muridnya, yakni para tâbi’în. Salah satu murid terbaiknya adalah mantan budaknya, yaitu Imâm Nâfi’. Pada masa setelahnya Imâm Nafi’ menjadi guru Imâm Mâlik ibn Anas (w.179 H/795 M) yakni pendiri mazhab Maliki sekaligus yang mempunyai andil terbesar dalam penyebaran mazhab ahl al-hadits.

Sedangkan bapak ahl ar-ra’y dinisbatkan kepada ‘Abdullah ibn Mas’ûd yakni sahabat dekat Rasulullah Saw yang karakter dalam memahami agamanya, dekat dengan karakter ‘Umar ibn Khattâb, yang lebih sering ‘memeras otak’ dalam pengambilan hukum-hukum agama, ketimbang hanya berpegang dengan makna zhâhir saja. Pada masa kekhalifahan ‘Umar ibn Khattâb, ‘Abdullah ibn Mas’ûd dikirim ke Kufah, Irak. Sebagai Guru agama, Hakim sekaligus Menteri. Salah satu murid terdekat ‘Abdullah ibn Mas’ûd adalah ‘Alqamah ibn Qais an-Nakhâi, guru dari Ibrahim an-Nakhâi, yang merupakan guru dari Hammâd ibn Abu Sulaiman, yakni guru utama Imâm Abu Hanifah Nu’man ibn Tsâbit (w.150 H/ 767 M). Selanjutnya Abu Hanifah lah yang mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran  mazhab ahl ar-ra’y, sebagai pendiri mazhab hanafi.

Setelah kedua pendiri mazhab tersebut, muncullah Imâm Muhammad ibn Idris as-Syâfi’i (w.204 H/820 M) yang mempelajari kedua metode mazhab tersebut langsung dari pendirinya. Pada perjalanannya dalam menuntut ilmu, ia berguru kepada banyak ulama zaman itu. Salah satu guru terbaiknya adalah Imam Mâlik ibn Anas. Ia berguru kepadanya sampai akhir hayat beliau. Imâm as-Syâfi’i juga berguru kepada Muhammad ibn Hasan al-Syaibâni yang merupakan murid terdekat Abu Hanifah. Dengan demikian Imâm as-Syâfi’i telah menghimpun metode kedua mazhab tersebut; yakni ahl ar-ra’y dan ahl al-hadits. Setelah Imâm as-Syâfi’i menjadi salah satu Imam mazhab fikih, beliau  mempunyai murid yang bernama Imâm Ahmad ibn Hanbal (w.241 H/765M) yang nantinya menjadi pendiri mazhab Hanbali.

Khâtimah

Dengan demikian, ilmu fikih yang kita amalkan sekarang, secara asal-muasalnya sudah ada sejak masa kenabian. Dalam bentuk: Pengajaran agama oleh Rasulullah Saw kepada para sahabat, setiap wahyu yang turun kepada beliau dan Pelatihan Rasulullah beberapa sahabat terpilih dalam ber-ijtihâd. Para sahabat yang sudah dilatih secara langsung oleh Nabi untuk ber-ijtihâd, kemudian menyebarkan ilmu-ilmunya ke berbagai penjuru negri, untuk mewariskan ilmu ilmu mereka kepada generasi setelahnya, yakni para tâbi’în. Para tâbi’în yang dididik oleh para sahabat tadi, kemudian mewariskan ilmu-ilmu mereka hingga sampai kepada Imam-imam mazhab fikih yang empat, yakni: Imâm Abu Hanifah Nu’man ibn Tsâbit (w.150 H/ 767 M), Imâm Mâlik ibn Anas (w.179 H/795 M), Imâm Muhammad ibn Idris as-Syâfi’i (w.204 H/820 M) dan Imâm Ahmad ibn Hanbal (w.241 H/765M). Adapun perbedaan cara ber-Ijtihad dan hukum-hukum yang dihasilkan oleh setiap imam mazhab fikih yang empat, sudah ada akarnya sejak masa kenabian. Yakni tergambarkan dengan jelas pada hadis perang (Maghâzhy), tentang bani Quraizhah.

Komentar

Postingan Populer