Teori penciptaan alam (Asy’ariyyah vis a vis Mu’tazilah)
Pada umumnya sebagian kita beranggapan
bahwa alam itu telah diciptakan Tuhan pada suatu saat di masa silam, yang mana
menunjukkan bahwa penciptaan alam sudah terjadi, bahkan telah selesai sekali untuk
semuanya. Barangkali kita juga membayangkan bahwa pada masa penciptaaannya,
alam sudah seperti yang kita lihat hari ini. bumi, tumbuhan, hewan bahkan
manusia memang sudah begini adanya dari semula. Namun, kalau kita pelajari
bukti-bukti ilmiah dan historis, kita akan menyadari bahwa telah terjadi
peristiwa-peristiwa besar dan spektakuler yang menandai fase-fase perkembangan
alam ini, dari waktu ke waktu. Ini tentunya memberi kesadaran pada diri yang berpikir,
bahwa ternyata telah terjadi peristiwa-peristiwa baru yang tidak ada pada awal
masa penciptaan. Kalau seandainya penciptaan alam dikatakan tidak terjadi
secara berterusan, tetapi terjadi sekali untuk selamanya, bagaimana kita
menjelaskan peristiwa-peristiwa yang tidak ada sebelumnya, dan baru muncul
belakangan, jauh setelah alam dicipta pada masa lalu ? Lalu, bukankah ini
berarti, bahwa penciptaan alam ini terjadi berulang-ulang ?
Teori penciptaan kumûn
Seorang tokoh Mu’tazilah yang
bernama al-Nazhzham (w.845 M) menjawab pertanyaan ini melalui teori penciptaan
alam yang disebutnya kumûn. Teori ini mengatakan bahwa alam ini dicipta
sekali untuk selamanya atau untuk semuanya. Jadi menurutnya, tidak ada
penciptaan ulang atau pembaruan pada penciptaan ini. al-Nazhzham menjelaskan
bahwa semua yang ada di dunia ini, baik pada masa lampau, masa kini dan masa
yang akan datang, semua telah dicipta Tuhan sekaligus pada penciptaan pertama.
Namun, mereka disimpan dalam persembunyian atau dengan kata lain “disembunyikan
di belakang layar,” seperti pelakon drama yang sudah disiapkan sejak awal.
Walaupun masa mereka masuk ke dalam panggung alam pada masa yang berbeda-beda,
sejalan dengan rancangan sang sutradara. Dari sini terlihat, bahwa
makhluk-makhluk yang telah diciptakan ini disembunyikan, inilah, yang dimaksudkan
dengan teori kumun yang artinya tersembunyi. Pemunculan sesuatu dalam
periode-periode yang berbeda tidaklah menandakan sebuah penciptaan yang baru,
melainkan “dikeluarkannya” benda-benda atau makhluk-makhluk tersebut dari
persembunyiannya sesuai dengan rencana dan kehendak Tuhan.
Teori penciptaan berterusan
Teori ini mengatakan bahwa
penciptaan tidak berhenti pada penciptaan pertama, tetapi berterusan hingga
saat ini, bahkan di masa yang akan datang. Menurut teori ini, alam semesta
terdiri dari atom-atom, tetapi atom-atom ini hanya mampu bertahan satu-dua saat
saja. Untuk mempertahankan keberadaan atom-atom tersebut, maka Tuhan
menciptakan atom-atom baru, yang pada gilirannya juga akan bertahan hanya satu-dua
saat saja, sehingga diperlukan penciptaan yang baru setiap atom-atom ini
berakhir. Menurut teori ini, alam ini selalu diperbaharui oleh Tuhan secara berkesinambungan
sepanjang zaman. oleh karena itu, dalam al-Qur’an disebutkan, Setiap hari
Dia selalu dalam kesibukan (QS. 55:29). Penciptaan yang terjadi
terus-menerus ini, dilakukan secara langsung tanpa perantara, sehingga Sang
Pencipta dipandang sebagai “sebab langsung” dari penciptaan alam yang
berterusan tersebut.
Teori ini tentu bertentangan dengan
teori kaum Mu’tazilah yang memandang Tuhan “bukan sebagai sebab langsung” penciptaan
alam, tetapi diantarai oleh sebab tak langsung, yang mereka sebut sebagai “sunnatullah.”
atau hukum alam. Teori penciptaan berterusan ini, digagas oleh Imam al-Asy’ari(w.925)
dan telah dikembangkan oleh para pendukungnya untuk mengembalikan kekuasaan
Tuhan yang telah dikesampingkan oleh kaum Mu’tazilah, dan untuk membuktikan
secara rasional tentang kemungkinan mukjizat.
Ajaran pokok teori penciptaan berterusan,
yang dibangun oleh Imam al-Asy’ari ini, mengatakan bahwa alam semesta ini
terdiri dari zat yang sangat kecil, bahkan tidak bisa dibagi-bagi lagi, yaitu
Atom. Namun, menurut teori ini atom-atom ini tidak mampu bertahan kecuali satu-dua
saat. Ini artinya atom-atom baru perlu dicipta oleh Tuhan untuk menggantikan
atom-atom yang sebelumnya, yang sudah musnah dan untuk mempertahankan
eksistensi alam. Jika tidak, dunia akan kehilangan pijakan wujudnya. Dalam pandangan
teori ini, untuk menghancurkan dunia ini, cukup bagi Tuhan untuk tidak
menciptakan atom-atom baru. Dari sini tampak sekali betapa alam sangat
tergantung keberadaannya pada Tuhan.
Teori ini kemudian diperjelas oleh
Imam al-Ghazaly dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah, untuk menjelaskan
bagaimana terjadinya mukjizat, khususnya mukjizat nabi Musa, ketika tongkatnya
berubah menjadi ular. Berlandaskan teori atom asy’ari, Imam al-Ghazaly
menjelaskan bahwa segala sesuatu terdiri dari atom, termasuk tongkat nabi Musa.
Namun atom-atom itu hanya bertahan satu-dua saat saja. Dan keadaan benda
tersebut bergantung pada jenis atom yang Tuhan ciptakan untuk menggantikannya.
Pada umumnya atom yang Dia ciptakan adalah dari jenis yang sama, sehingga benda
tersebut, yakni tongkat, dalam kasus mukjizat Nabi Musa, akan tetap menjadi
tongkat. Namun, ketika Tuhan berkehendak mengubah tongkat itu menjadi ular
besar, Ia bisa melakukannya dengan cara “mengganti atom-atom tongkat tersebut
dengan atom-atom ular,” sehingga secara lahiriah kita melihat tongkat tersebut
berubah menjadi ular. Dengan mekanisme yang sama, ketika Dia ingin
mengembalikan ular kepada bentuk semula, yaitu tongkat, Ia ciptakan atom-atom tongkat,
untuk menggantikan atom-atom ular yang dalam satu-dua saat akan musnah. Dengan
begitu berubahlah ular tersebut menjadi tongkat.
Menurut Imam al-Ghazaly, pada
prinsipnya, Tuhan bisa mengubah apa saja, misalnya pulpen yang kita gunakan
untuk menulis, menjadi seekor singa dengan mekanisme kerja yang seperti itu. Di
bagian akhir bukunya itu, Imam al-Ghazaly menggunakan prosuder yang sama untuk
menolak realitas hukum kausalitas. Hubungan kausalitas, atau sebab-akibat ini,
menurut beliau adalah semu, artinya tidak terjadi dengan sesungguh-sungguhnya.
Ini karena atom yang ada ketika terjadinya sebuah sebab, akan sudah berganti
dengan atom yang berbeda ketika berlangsungnya sebuah akibat. Jadi, kalau
begitu bagaimana mungkin hubungan sebab-akibat ini bisa terjadi ? Hubungan
kausalitas bisa terjadi, hanya apabila atom-atom yang menerima sebab adalah
sama, dengan atom-atom yang menerima akibat. Namun, karena atom-atom dari
sebuah benda selau berubah dari saat ke saat, maka secara logis, hubungan sebab-akibat
tidak betul-betul terjadi.
Penutup
Selanjutnya, implikasi teori atom
asy’ari ini, akan kita dapati ketika kita berbicara tetang daya-daya manusia.
Menurut asy’ariyyah, tindakan manusia bukanlah milik ataupun ciptaan manusia
itu sendiri, tetapi pada hakikatnya milik Tuhan jua. Tuhanlah, yang menciptakan
daya dan segala tindakan manusia pada saat melakukannya. Jadi, bukanlah milik
manusia yang sejati atau intrinsik yang dimilikinya sejak awal hingga akhir
hayatnya. Pandangan seperti ini tentunya akan memperlemah posisi manusia di
satu sisi, tetapi memperkuat posisi Tuhan di sisi lain. Jadi, kaum asy’ary ingin
mengembalikan Tuhan, yang telah dijauhkan sebelumnya oleh kaum Mu’tazilah
kepada alam, dan pada gilirannya akan membuat alam, termasuk manusia di dalamnya,
betul-betul tergantung pada Tuhan.
Komentar
Posting Komentar