Makna Kebahagiaan; Islam vis a vis Barat
Makna Kebahagiaan; Islam vis a vis Barat
Prolog
Di zaman yang serba canggih dan modern sekarang, terkadang masalah
mengenai hal-hal yang ‘absurd’ wujudnya, senyap untuk diperbincangkan.
Orang-orang lebih banyak menuntut jawaban atas ‘permasalahan kekinian’ yang
nyata bentuknya, daripada masalah yang akan terjadi di hari kemudian.
Tidak salah memang, karena kita hidup disini,di dunia. Tentunya,
kita membutuhkan jawaban-jawaban praktis atas permasalahan hidup yang tengah
kita hadapi. Tapi kiranya, untuk penyeimbangan, ada baiknya kita merenungkan kembali
hakikat kehidupan. Khususnya mengenai makna kebahagiaan.
Setiap manusia, secara fitrahnya pasti menginginkan kebahagiaan.
Baik itu kebahagiaan di dunia –yang tengah kita jalani sekarang- maupun kebahagiaan
di akhirat nanti. Dan tidak ada satu pun manusia yang tidak ingin berbahagia.
Maka dari itu, pemahaman kita tentang kebahagiaan perlu diperteguh kembali.
Kebahagiaan menurut pandangan Islam terkandung dalam istilah sa’âdah
dan ia mempunyai pertalian dengan dua dimensi kewujudan. Pertama di akhirat
(ukhrawiyyah) dan kedua di dunia (dunyawiyyah). Lawan dari kata sa’âdah
adalah shaqâwah, yang arti umumnya adalah; kesengsaraan.
Di dalam buku Ihyâ’ ulum al-Din, Imam al-Ghazaly menjelaskan
bahwa puncak kebahagiaan tertinggi seorang manusia adalah ru’yat Allah (melihat Allah) yang
dijanjikan kepada mereka yang semasa hidupnya di dunia, menyerahkan diri dengan
suka rela kepada Allah dan menaati segala perintah dan larangan-Nya dengan
penuh kesadaran dan pengetahuan.
Oleh karena itu, ada pertalian yang erat antara kebahagiaan di
akhirat dan di dunia, yang mana terangkum dalam dua perkara. Pertama, badan
(badaniyyah). Kedua, jiwa (nafsiyyah). Jadi, kebahagiaan di dunia ini bukanlah
hanya terkait dengan kehidupan duniawi saja, namun ia juga terkait dengan
kehidupan ukhrawi.
Dalam rangka untuk memahami kebahagiaan menurut Islam, ada baiknya
kita perlu mengenal terlebih dahulu ‘diri’ kita. Karena, pengenalan terhadap
dirilah yang akan mengantarkan manusia (kita) untuk mengenal Tuhan. Dan
pengenalan Tuhanlah yang akan membawa kita meraih kebahagiaan di dunia maupun
di akhirat.
Para ulama sufi sepakat bahwa dasar rujukan, dalam mempelajari dan
memahami mengenai Allah SWT, antara lain perkataan Ali Ibn Abi Thalib ra, yakni
: man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa
rabbahu. (Barang siapa yang mengenali dirinya, maka ia telah mengenal
Tuhannya). Maka, pengenalan mengenai ‘diri’, adalah syarat mutlak untuk dapat
mengenal Tuhan.
Manusia dan karakteristiknya
Manusia terdiri dari dua unsur gabungan. Pertama, badan dan Kedua,
jiwa. Makna pertama merujuk kepada wajah diri yang menjadi asal muasal segala
sifat buruk pada diri manusia. Walaupun badan yang bersifat hayawani ini
bermanfaat dalam beberapa hal. Namun, ia adalah lawan dari jiwa, yang bersifat
akali. Makna kedua, yakni jiwa, ia adalah sumber segala sifat terpuji. Karena
semua perbuatan dan perilaku yang baik berasal dari pertimbangan akal yang
sehat dan bukan dari dorongan syahwat atau hawa nafsu.
Usaha manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun
kebahagiaan yang kekal di akhirat kelak, bergantung kepada wajah diri yang mana
yang dipilihnya untuk berpihak. Dan kedua-duanya mempunyai kuasanya
masing-masing. Untuk mencapai kebahagiaan itu, maka manusia mencari jalan untuk
menuju kesana. Tiada jalan lain, kecuali dengan berperilaku baik atau bersifat
dengan sifat-sifat terpuji.
Dalam mencapai dan membiasakan perilaku yang baik, akal harus
senantiasa dilatih dengan berfikir dan bertadabbur. Contohnya; daya syahwat,
apabila sudah dilatih akan menjadi kesederhanaan. Dan marah jika sudah dilatih
akan menjadi keberanian. Keadaan menengah antara kedua keaadan (al-Wasath) ini
dicapai apabila dua unsur dalam badan hayawani, yakni syahwat dan marah telah
dilatih dan diasuh oleh kuasa akali.
Untuk melatih kuasa akali agar ia menguasai kuasa hayawani diperlukanlah
daya ‘bebas memilih’. Kata ‘pilihan’ sering diterjemahkan dengan kata ’Ikhtiyâr’
(bahasa arab). Namun, menurut Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya The
Meaning and Experience of Happiness in Islam. Kata ‘Ikhtiyâr’ tidak bermakna
pilihan saja. Kata ‘khayr’ yang bermakna kebaikan, dan terangkum dalam kata ‘Ikhtiyâr’
berasal dari akar kata yang sama. Secara tersirat menyatakan bahwa yang
dimaksudkan ialah; pilihan yang membawa kepada kebaikan. Maka, apa yang
dikatakan sebagai ‘pilihan’ yang membawa kepada keburukan bukanlah pilihan (dalam
pandangan Islam).
Oleh karena itu, kebebasan memilih adalah; tindakan yang diambil menurut fitrah kita. Jadi, memilih sesuatu yang baik
itulah sebenarnya yang dimaksudkan ‘pilihan yang bebas.’ Dan memilih sesuatu
yang buruk bukanlah pilihan, karena ia telah mendustakan fitrahnya, yang digerakkan
oleh dorongan hawa nafsu yang berasal dari kuasa hayawani.
Kebahagiaan menurut Islam dan Barat
Dalam pandangan Islam kebahagiaan di kehidupan duniawi ini bukanlah
tujuan akhir, yakni bukanlah suatu tujuan yang berakhir dengan kebahagiaan itu
sendiri. Karena tujuan akhir kebahagiaan dalam pandangan Islam adalah cinta kepada
Allah, yang dibuktikan dengan menjalankan segala perintah dan larangan Allah
Swt..
Di dunia ini, kebahagiaan terdiri dari dua peringkat. Peringkat
pertama adalah peringkat nafsy, yang bermula dan berakhir dari saat ke saat
(perasaan dan cita rasa dalam diri). Dan ia dapat dicapai dengan tercapainya
segala yang diperlukan dan diingini menurut perilaku yang baik yang berasaskan
kepada sifat-sifat terpuji. Peringkat kedua adalah peringkat ruhany,
yang kekal dan dialami secara sadar. Peringkat kedua ini apabila dicapai,
hampir sama dengan peringkat pertama. Hanya saja segala yang diingini kian
berkurang, dan segala yang diperlukan sudah tercukupi. Kebahagiaan di peringkat
kedua inilah yang menjadi bekal kepada kebahagiaan tertinggi yang berlaku di
akhirat kelak, yakni ru’yat Allah (Melihat
Allah).
Aristoteles seorang filsuf yunani -yang pemikirannya melandasi
filsafat barat modern- berpendapat bahwa, sifat-sifat terpuji dan kebahagiaan
hanya terkait dengan kehidupan di dunia ini saja. Oleh karena itu, ia
berkesimpulan; kebahagiaan sebagai suatu keadaan yang dialami secara sadar dan
kekal dalam hidup kita di dunia ini, tidak mungkin bisa dicapai.
Paham kebahagiaan yang dicetuskan oleh Aristoteles inilah yang mendasari
paham kebahagiaan di Barat modern dan masyarakatnya secara umum. Pengertian
kebahagiaan yang mereka pahami ini, menjadi penyebab bagi keruntuhan akhlak, kerusakan
sistem politik dan segala bentuk bencana kemanusiaan.
Bagi Aristoteles, tujuan terakhir kebahagiaan adalah kebahagiaan
itu sendiri (bukan yang lain). Kebahagiaan dipandang hanya sebagai perasaan
yang mempunyai permulaan dan penghabisan yang mengikuti waktu. Dan tidak ada
kaitannya dengan rukun-rukun akhlak. Karena sifat-sifat terpuji-menurut Aristoteles-
hanya dihasilkan melalui akal semata-mata. Dan pada akhirnya tidak mencukupi
untuk menghasilkan kebahagiaan yang berkekalan dalam diri.
Atas dasar pandangan hidup seperti inilah, masyarakat Barat modern
memahami daya ‘bebas memilih’ berbeda
dengan Islam. Karena, mereka hanya memaknainya dengan; kekuasaan dan kebebasan
berfikir dalam mengambil keputusan, serta bertindak tanpa panduan dan bantuan
wahyu. Yaitu dengan mengetepikan sarana-sarana agama dalam semua perkara,
terutama segala hal yang berkaitan dengan norma dan akhlak.
Kebahagiaan menurut Fakhruddin ar-Razi
“Manusia mulia adalah manusia yang mengutamakan wahyu Allah dan
akalnya, dibanding mengikuti hawa nafsunya,” demikian ungkap Fakhruddin ar-Razi
dalam karyanya Kitâb al-nafs wa al-Ruh wa al-Syarh Quwahuma (Buku mengenai jiwa dan ruh, dan komentar
terhadap kedua potensinya).
Menurut Fakhruddin ar-Razi dalam kitabnya itu, kebahagiaan jiwa
atau kenikmatan ruhani lebih tinggi martabatnya dibanding kebahagiaan fisik
atau kenikmatan jasmani. Misalnya; kuliner dan segala hasrat untuk memilki
materi. Argumentasinya sebagai berikut;
Pertama, jika kebahagiaan manusia terkait dengan hawa nafsu dan
mengikuti amarah, maka hewan- hewan tertentu -yang amarah dan nafsunya lebih
hebat- akan lebih tinggi martabatnya dibanding manusia. Karena, Singa lebih
kuat nafsu amarahnya dibanding manusia. Tapi kenyataannya, singa tidak lebih
mulia dari manusia.
Kedua, jika makanan menjadi sebab diraihnya kebahagiaan, maka
seseorang yang makan terus-menerus akan menjadi manusia paling bahagia. Tapi,
seseorang yang makan terus-menerus dalam jumlah berlebihan, justru akan
membahayakan dirinya, dan menjadikannya tidak bahagia lagi.
Ketiga, kenikmatan jasmani sejatinya bukanlah kenikmatan yang
sebenarnya. Seseorang yang sangat lapar, akan segera merasakan nikmat yang
tinggi jika ia segera makan. Sebaliknya, seseorang yang sedikit laparnya,
sedikit pula rasa nikmatnya ketika ia makan. Ini menunjukkan bahwa nikmat
jasmani bukanlah kenikmatan sesungguhnya. Jiwalah yang merasakan kebahagiaan
dan bukanlah kenikmatan jasmani.
Epilog
Dalam pandangan Islam, pengertian kebahagiaan tidak dibatasi hanya
kepada kepada kehidupan duniawi semata-mata. Namun ada hubungan erat antara
kebahagiaan dunia dan akhirat, dan ia mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi
kehidupan kita di dunia ini. Karena kebahagiaan itu adalah perkara ruhani yang
abadi keadaannya. Maka, ada suatu unsur kebahagiaan yang kita alami secara
sadar, dan apabila dicapai, akan menetap kekal dalam diri.
Menurut Fakhruddin ar-Razi, jika manusia hanya sibuk dengan
kenikmatan jasmani, maka daya spritualitasnya akan rendah dan
intelektualitasnya tertutup. Ia akan tetap diliputi dengan nafsu kebinatangan,
bukan kemanusiaan. Padahal, esensi kemanusiaan yang sebenarnya adalah
menyibukan diri kepada Allah, dengan berbagai macam cara, supaya ia
menyembah-Nya dengan sepenuh jiwa raganya. Kesibukan dengan kenikmatan duniawi
akan menghalanginya dari beribadah dan mengingat-Nya, dan cinta kepada
kenikmatan jasmani akan menghalanginya untuk meraih cinta-Nya. Karena, tujuan
akhir kebahagiaan dalam pandangan Islam adalah mencintai Allah.
Wallâhu a’lamu bi-al-showâb
Komentar
Posting Komentar